BEKAL MENCARI KERJA ADALAH CALISTUNGTIK

Bekal mencari kerja di abad 21 adalah baca, tulis, hitung dan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Demikian ungkap Direktur Pembinaan SMA, Harris Iskandar dalam satu tulisan di websites Kemendikbud pusat. Sayangnya, dalam kurikulum 2013, TIK dihapuskan dan digantikan dengan mata pelajaran Prakarya yang menimbulkan protes para guru TIK/KKPI nasional.

CITRA PENDIDIKAN DI INDONESIA(1)

Bagi banyak orang di dalam dan luar dunia pendidikan, Indonesia menampilkan citra tidak begitu jelas, galau, dan bahkan kacau. Pada tingkat internasional, jika orang yang cukup well-informed ditanya tentang pendidikan Indonesia, hampir bisa dipastikan ia nyaris tidak punya jawaban instan.

JADI GURU DI ALMAMATER -Bagian II

Tidak akan pernah ada yang mudah dalam kehidupan ini jika senantiasa dibuat sulit. Atau sebaliknya, tidak ada sesuatu yang sulit jika dilakukan dengan penuh kesederhanaan. Mengabdi pada kehidupan adalah kewajiban semua manusia beradab.

JADI GURU DI ALMAMATER - Bagian I

Kepada para siswa kelas XII, Bu Yos mengenalkan saya sebagai guru baru yang mengampu mata pelajaran ekonomi. Ucapan pertama, saya katakan sebagai alumni tahun 1980/1981.

MENGENALI MASALAH YANG SEDANG TERJADI DI SMA MASEHI KEBUMEN - Bagian Pertama

Masalah dalam dunia pendidikan di lingkungan SMA Masehi Kebumen adalah faktor penyelenggaraan proses belajar mengajar yang sesuai dengan visi, misi dan aturan internal lembaga dikaitkan dengan visi dan misi pembangunan bidang pendidikan nasional.

Rabu, 23 Oktober 2013

PROGRAM ANAK ASUH


Oleh: Toto Karyanto

Program  Anak Asuh adalah sebuah program yang disiapkan sebagai jembatan untuk mempertemukan keinginan siswa/i SMA Masehi Kebumen yang kurang mampu secara ekonomi dan pihak tertentu dalam menyatakan kesediaan mencukupi sarana dan prasarana pendidikan guna melancarkan kegiatan belajar mengajar siswa/i tersebut baik berbentuk uang tunai maupun barang. Dasar pemikiran utama adalah bahwa ada lebih dari seorang siswa yang mengalami kondisi tersebut dan belum mendapatkan jalan keluar dalam mengatasi kendala yang dihadapinya. Karena itu, program yang merupakan inisiatif pribadi dan berada di luar program formal yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui sekolah semacam BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan KSM (Keluarga Siswa Miskin), maka manajemen program dilakukan secara mandiri dan bertingkat. 

Caranya, pemberi amanat (orang tua asuh) menitipkan uang atau barang kepada wali amanat selaku pelaksana program. Jika inisiator program adalah wali amanat, maka ia telah melakukan serangkaian penilaian kebutuhan riil (assesment) baik yang termasuk kategori prioritas maupun penunjang. Kebutuhan prioritas adalah satu atau beberapa jenis kebutuhan utama yang apabila tidak segera dicukupi akan menjadi penyebab pokok penerima amanat tidak dapat melakukan kegiatan belajar dan mengajar secara minimal. Misalnya, karena faktor jarak yang sangat jauh dan sulit dijangkau kendaraan umum, maka sepeda adalah sarana transportasi minimal.   Atau, jika dapat dijangkau dengan kendaraan umum, maka ketersediaan ongkos transportasi pergi dan pulang sekolah selama minimal empat sampai lima bulan dalam satu semester harus dicukupi. Kemungkinan lain adalah menyediakan kamar kos yang dapat ditempati setidaknya untuk jangka waktu satu semester. Demikian pula untuk kebutuhan alat dan buku tulis. 

Dalam kondisi yang telah mampu mencukupi kebutuhan prioritas, maka Program Anak Asuh ini dapat ditingkatkan untuk menjangkau kebutuhan pendukung atau tambahan semisal alat-alat bantu pendidikan (white board, laptop atau desktop, LCD monitor dan lain-lain). Jika pemenuhan kebutuhan prioritas bersifat darurat atau harus disegerakan, maka untuk kebutuhan pendukung sifatnya adalah mengembangkan kemampuan, minat dan bakat pribadi masing-masing siswa secara umum. Ada kemungkinan pemanfaatan bersama yaitu satu sarana untuk dua atau lebih siswa. 

Program Anak Asuh ini bertujuan untuk:
  1. mengatasi kebutuhan minimal siswa (transpor dan sarana pendidikan utama),
  2. mendukung upaya pengembangan kemampuan. minat dan bakat pribadi siswa dan 
  3. mendukung sarana dan/atau prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar siswa.
Sasaran :
  1. Siswa/i yang kondisi ekonomi orangtua kandung atau walinya tergolong sangat miskin atau miskin,
  2. Siswa/i yang memiliki kemampuan, minat dan bakat di atas rata-rata siswa tapi mengalami kendala dalam menunjang optimalisasinya baik bagi diri maupun sebagai duta sekolah, dan
  3. Sebagai ajang promosi untuk meningkatkan kapasitas sekolah dalam menyelenggarakan kegiatan berlajar dan mengajar secara optimal.
Cara Berpartisipasi:

  1. Bagi calon orangtua asuh yang berminat ikut serta dalam Program Anak Asuh ini dapat mengajukan minat atau keinginannya dengan cara mengisi Formulir Kontak yang tersedia di bilah kanan (widget utama Blog SMA Masehi Kebumen) secara lengkap dan berurutan dengan menyebut jenis program : utama atau pendukung.
  2. Mengirim informasi tentang minat dan jenis program ke alamat e mail : smamasehikebumen2013@gmail.com atau melalui alamat : PROGRAM ANAK ASUH SMA MASEHI KEBUMEN  dengan alamat di Jl. Telasih No. 21 Kebumen 54311 telepon (0287) 383165 HP. 081 327 780 271 atau 085 702 461 845.
  3. Melakukan pemindah-bukuan dana (transfer rekening) ke Bank BRI Cabang Kebumen No. 0032 01 032791 50 5 atas nama R. Toto Karyanto, SE.  Setelah melakukan transfer rekening agar mengirim pemberitahuan melalui e mail atau nomor kontak di atas.
Secara berkala, pelaksanaan Program Orangtua Asuh ini akan dilaporkan melalui blog ini atau dimuat di halaman Facebook ini. 

Demikian sekilas informasi tentang gagasan, tujuan dan sasaran Program Orangtua Asuh di lingkungan SMA Masehi Kebumen. Kurang atau lebihnya harap maklum, Semoga manfaat,  



Selasa, 22 Oktober 2013

Mengenali Masalah di SMA Masehi Kebumen - Bagian Kedua

Gaya vocalist "Queem" Fredy Mercury

Ketika Kepala SMA, Ibu Yosephine FW saya dorong untuk menorehkan catatan bersejarah di blog ini, beliau menjawab diplomatis, " Tidak..cukup anda saja. Tapi saran tematiknya adalah bahwa masalah yang tengah terjadi di lingkungan SMA Masehi Kebumen khususnya dapat diibaratkan sebuah irama, fluktuatif. Kurang lebih demikian maknanya. Dan, dengan sedikit bergurau, pertanyaan itu dilanjutkan dengan jenis iramanya itu apa? Klasik, jazz, rock'n roll, waltz, samba, rumba, dangdut atau house music ? Beliau hanya tersenyum. Ya.. saya tak ingin balada. Mungkin jazy yang dinamis lebih mewakili, lebih tepatnya jazz rock semacam irama yang biasa dibawakan oleh kelompok Queen dengan Fredy Mercury sebagai lead vocal-nya. 

Satu judul lagu mereka yang sangat melegenda adalah bohemian rhapsodyLagu yang pernah dinobatkan sebagai Lagu Rock Epic Terbaik Sepanjang Masa oleh majalah musik Mojo edisi April 2004. Bahkan menurut penelitian Guinness World Records tahun 2002 pada 31.000 responden, Bohemian Rhapsody adalah lagu terfavorit di UK. Lagu yang menjadi bagian album A Night at The Opera, adalah sebuah karya seni luar biasa dengan segenap misteri yang ada di dalamnya.

Sebagaimana diketahui umum, SMA Masehi Kebumen pernah menjadi SMA favorit di beberapa kabupaten sekitar Kebumen pada dasawarsa 1980-an. Selain karena masih langka, sejumlah SMA baik negeri maupun yang swasta yang ada saat itu memperhitungkan keberadaan SMA Masehi Kebumen karena banyak alasan. Gudangnya "anak nakal" adalah satu diantara julukan yang diberikan kepada sekolah di depan Tugu Lawet ini. Kenakalan ini bahkan sempat menyeret sejumlah siswa berurusan dengan pihak berwajib ketika mereka menunjukkan solidaritas atas pelecehan yang dilakukan seseorang kepada siswi yang tengah mewakili sekolah dalam perkemahan di alun-alun Kebumen tahun 1980. Saat itu, Kepala SMA Masehi Kebumen dijabat oleh Bapak Drs. Pudjo Widiatno dan saya adalah ketua rombongan (regu). 

Dari ilustrasi di atas, ada kemiripan situasional antara lirik lagu Bohemian Rhapsody dengan perjalanan proses belajar mengajar di SMA Masehi Kebumen. Ada Galilleo-Figaro-Magnifico yang mencerminkan tokoh besar dan dunia keilmuan yang melingkupinya. Tapi ada juga Scaramouche yang menggambarkan sosok pengecut dan banyak omong. Hal yang tak bisa dikesampingkan adalah realita keberadaan peserta didiknya yang sebagian besar mewakili kondisi umum masyarakat Indonesia yang muslim. Masih banyak kemiripan yang dapat dieksplorasi dari dua situasi dalam setting visual berbeda ibarat air dan minyak.

Seunik lirik dan irama yang mengalir dalam lagu Bohemian Rhapsody, situasi yang tengah dihadapi oleh SMA Masehi Kebumen sebagai lembaga formal penyelenggara dan tonggak sejarah pendidikan menengah di Kabupaten Kebumen perlu penanganan yang unik pula. Tidak bisa menggunakan pendekatan biasa seperti pepatah business is usual.  Kerangka pikir yang harus dibangun adalah out of box. Pendekatan yang digunakan juga harus unik, oleh manusia unik dan dalam irama yang unik. Keunikan adalah anugerah besar yang bernilai besar pula. Semoga,

Jadi Guru Di Almamater - Bagian II



Tidak akan pernah ada yang mudah dalam kehidupan ini jika senantiasa dibuat sulit. Atau sebaliknya,  tidak ada sesuatu yang sulit jika dilakukan dengan penuh kesederhanaan. Mengabdi pada kehidupan adalah kewajiban semua manusia beradab. Berburu bagi kematian adalah tindakan biadab. Pendidikan adalah bagian utama pengabdian pada kehidupan manusia beradab. Pengertian inilah yang saya pahami dari pergulatan hidup sepanjang usia dewasa.

Pendidikan bukan saja memindahkan pengetahuan atau sering disebut dengan istilah transfer ilmu dari pendidik kepada pesertanya. Lebih dari itu, pendidikan adalah suatu proses memaknai nilai-nilai kehidupan manusia beradab. Melalui pendidikan, manusia saling berinteraksi dalam kesetaraan derajat. Dengan bekal pengalaman, pendidik menyampaikan pengetahuan yang pernah ia dapatkan di lingkungan formal maupun dalam pergaulan hidupnya. Boleh jadi, pemahaman ini yang dimaksudkan dalam pengertian pendidikan dengan sentuhan hati atau pendidikan yang menyertakan budi pekerti.

Pendidikan berbasis kesetaraan (peer education) jika dimaknai secara luas dan dalam, akan mendorong peserta didik memahami diri dan lingkungannya. Untuk memahami dirinya, sesorang tak harus belajar secara khusus di sekolah kepribadian. Dan agar mengetahui dengan jelas keadaan lingkungan, pelibatan sosial adalah cara terbaik memasukkan nilai-nilai keadaban atau budi pekerti. Pendidik, peserta didik dan masyarakat saling berinteraksi dalam satu kegiatan yang suasananya dapat disiapkan (by design). Jika diperluan penilaian, pendidik dapat menyediakan suatu daftar yang berisi beragam unsur terurai seperti halnya sebuah urutan perguliran acara (run down). Dalam hal ini, pendidik akan bertindak selaku sutradara, penulis skenario dan pemegang peran tertentu. Tidak sulit, cukup dengan belajar dan terus berlatih.


Ada satu fenomena yang cukup menarik tengah terjadi di dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini setelah ditutupnya sekolah atau perguruan tinggi dengan kekhususan pendidikan. Setelah penutupan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) pada dasawarsa 1980 – 1990, menyusul IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) pada dasawarsa berikutnya. Konon, banyak orang yang berprofesi guru atau dosen adalah jalur pelarian yang menampung sisa-sisa siswa atau mahasiswa yang tak laku di jurusan atau profesi lain. Barangkali, hal ini akan menjadi bahan perbincangan menarik.

Minggu, 20 Oktober 2013

Jadi Guru di Almamater - Bagian I

Gambar sampul akun twitter @onkitom

Membawa Kebiasaan  Saat Jadi Relawan Kemanusiaan

Saat menerima telepon dari istri yang intinya mengabarkan kedatangan Ibu Yosephine Fajar Winarni (Bu Yos) selaku Kepala SMA Masehi Kebumen ke rumah, ada rasa heran dan penasaran. Apalagi maksudnya adalah berharap agar saya dapat membantu almamater mengampu mata pelajaran Ekonomi karena ada kekosongan setelah guru sebelumnya menyatakan mundur. Pada saat yang sama, saya sedang berada di lingkungan Kampoeng Relawan di tengah arena Temu Karya Nasiona V Relawan PMI 2013 di Selorejo, Ngantang, Kabupaten Malang. 

Kebetulan, saat itu sedang dipercaya sebagai pak Lurah dan tengah menyiapkan materi dan personil yang akan ikut Sarasehan Pengembangan Kapasitas Relawan dengan pemateri Ketua DPR RI, Dr. Marzuki Alie. Dan sorenya jadi moderator acara Stand Up Volunteer (Ngobrol Ser-san dengan Sekjen, Kepala Divisi Relawan serta Kepala Divisi IT PMI Pusat). Karena itu, saya minta waktu dua tiga hari agar dapat memberi jawaban pasti. Pertimbangan utama sederhana, jadwal dan pendelegasian wewenang di Kampoeng Relawan yang baru dibentuk oleh para relawan PMI yang mandiri dan profesional. Terutama alokasi waktu dalam mengawal perjalanan RUU Kepalangmerahan yang harus disahkan paling lambat akhir tahun 2013 ini.

Di Surabaya, saya menyampaikan jawaban atas permintaan Bu Yos tadi melalui layanan pesan singkat. Saya bisa mengalokasikan waktu dua hari diawal minggu. Dan ketika hadir pada undangan bagi tugas di ruang guru, saya dikenalkan oleh Bu Yos kepada rekan sejawat. Ada rasa bahagia dan bangga punya kesempatan langsung terlibat dalam proses belajar mengajar di SMA yang telah saya tinggalkan sekitar 33 tahun lalu. Tanpa ragu saya katakan kepada Bu Ning Murwati, guru mata pelajaran Kimia dan Biologi selama saya bersekolah di SMA Masehi. Bahwa, meski sekarang jadi teman, tak hilang rasa hormat dan terima kasih saya kepada beliau. Karena sampai sekarang masih tahu cara dan mampu menghafal sistem periodik unsur. Singkat kata, berbekal niat mengamalkan ilmu dan pengalaman di berbagai aktivitas, saya kuatkan langkah, asa dan doa.

Kepada para siswa kelas XII, Bu Yos mengenalkan saya sebagai guru baru yang mengampu mata pelajaran ekonomi. Ucapan pertama, saya katakan sebagai alumni tahun 1980/1981. Banyak beraktivitas di lapangan kebencanaan sebagai relawan PMI dan sedikit bercerita pengalaman dipercaya mengelola manajemen logistik pada fase ERO (Emergency Response Operation) Gempa D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah di Markas PMI Kabupaten Bantul yang bernilai ratusan miliar rupiah. Bukan itu yang terpenting,  tapi melakukan penilaian awal seperti halnya langkah pertama dalam memberikan pertolongan pertama. 

Di depan siswa yang lima orang itu, saya menguji respon berdasarkan tanda vital. Meski belum maksimal, tingkat kesadaran siswa datang ke sekolah adalah sebuah indikasi kuat bahwa " tanda-tanda kehidupan" itu ada. Semangat juang mereka adalah energi positif yang harus dipelihara dan dikuatkan. Dalam konteks pertolongan pertama, kondisi umum siswa kelas XII sehat. Tidak seperti kesan sebagian orang yang beranggapan bahwa kondisi siswa dan suasana kegiatan belajar mengajar di SMA Masehi Kebumen itu mati suri. Dengan hasil penilaian tersebut, mereka sebenarnya siap untuk melakukan aktivitas normal seperti halnya siswa di sekolah lain.        

Pengalaman selaku pelatih Palang Merah Remaja (PMR) di berbagai sekolah dan daerah membawa manfaat besar dalam mengupayakan penggalian potensi siswa. Terutama materi Pendidikan Remaja Sebaya (PRS) yang intinya adalah ajakan hidup sehat yang dilakukan oleh dan untuk remaja seusia. Praktiknya tidak terlalu sulit. Cukup melakukan peran sebagai remaja seusia mereka saat berinteraksi. Di sisi ini, banyak pengalaman bergaul dengan para pekerja seni teater yang sangat bermanfaat menguatkan upaya itu. Dengan gaya mereka, saya bisa menyampaikan materi dengan lebih leluasa dan terus berkembang. 

Cara ini pernah saya lontarkan kepada Wakil Kepala Bidang Kurikulum yang juga alumni SMA Masehi Kebumen tahun lulus 1983/1984, Ibu Dra. Tri Handari. Tanggapan awal memang belum positif dan terus diupayakan dengan banyak pendekatan lain yang variatif. Sesekali, dalam  menyampaikan materi pelajaran dengan gaya bergurau dan di lain kesempatan mimik yang sangat serius seperti ekspresi orang yang kaku hati. Tapi tak pernah bosan mengatakan bahwa mereka punyai potensi yang harus segera disadari dan dikembangkan untuk kemanfaatan diri di masa depan. 

"Tidak ada siswa bodoh. Yang ada adalah malas atau rajin belajar". Pilihan ada di tangan kalian! Begitu cara memotivasi semangat belajar mereka. Cara ini adalah serapan dari pendekatan ketrampilan hidup (life skill) yang merupakan bagian utama dalam pelatihan kepalangmerahan. Begitu juga dengan masukan yang diadaptasi dari iklan inspiratif semisal : "berpikir biasa, bertindak luar biasa" dan lain-lain.  Dan saya telah membuktikan kehebatan pepatah kuno "pengalaman adalah guru terbaik". (bersambung)

Kamis, 17 Oktober 2013

Mengenali Masalah yang Sedang Terjadi di SMA Masehi Kebumen-Bagian Pertama



Oleh: Toto Karyanto
Tulisan ini telah dimuat di sini.
Teringat tulisan Bapak Prajudi Atmosudirjo dalam buku Pengambilan Keputusan, orang Indonesia sering beranggapan bahwa keluhan dan kesulitan adalah masalah. Dalam konsep manajemen, suatu hal termasuk kategori masalah jika tujuannya jelas. Dengan pemahaman terakhir, masalah dalam dunia pendidikan di lingkungan SMA Masehi Kebumen adalah faktor penyelenggaraan proses belajar mengajar yang sesuai dengan visi, misi dan aturan internal lembaga dikaitkan dengan visi dan misi pembangunan bidang pendidikan nasional. Dari komentar teman alumni pada tulisan (coba) memahami realita, selain prihatin dan peduli juga diperlukan pemahaman faktor internal dan eksternal atas masalah yang tengah dihadapi oleh almamaternya.

Dari beberapa kesempatan interaktif dengan kepala sekolah dan para guru yang saya anggap cukup tahu perjalanan terakhir proses penyelenggaraan kelembagaan di sekolah ini, saya menangkap kesan bahwa memang ada masalah. Besar atau kecil, luas atau sempit, dalam atau dangkal itu adalah bagian dari kajian atau penelitian yang memang sangat diperlukan untuk menemukan kadar dan cakupan masalah. Yang jelas, semangat dan upaya memelihara kehidupan di lembaga yang dikelola Yayasan Pendidikan Kristen “WIDHI DHARMA” Kebumen ini tetap terpelihara dengan segala keterbatasan.

Dalam satu tulisan, ekonom Faisal Basri, mengangkat satu topik yang sangat menarik perhatian saya. Judulnya sesat pikir pendidikan ini mengurai singkat masalah utama pilihan strategi pembangunan bidang kependidikan yang saat ini bertumpu pada input agar diubah menjadi pendekatan berdasar output.  Dijelaskan bahwa yang kerap jadi perbincangan adalah gaji guru, gedung sekolah rusak, dan kurikulum. Betul kita serba kekurangan atau jauh dari memadai dalam hampir segala hal. Segala hal di sini terkait dengan input pendidikan.

Sebagai orang baru di dunia yang menyangkut martabat manusia di sebuah negara-bangsa ini, banyak hal yang harus sejak awal dipahami sebelum melangkah lebih jauh. Masih berkait dengan tulisan di atas, saya berusaha memahami pola pikir Bang Faisal Basri (sebutan yang biasa saya kemukakan ketika berinteraksi dengan belliau). Dalam kerangka pikir yang kurang lebih sama, bahwa mengacu pada tujuan utama kemerdekaan bangsa Indonesia yang relevan dengan penentuan (pilihan) strategi pembangunan bidang kependidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, maka ada baiknya merombak total pendekatan pendidikan.

Tetapkan dahulu output yang hendak dicapai dan output tersebut terukur. Lazimnya, output pendidikan diukur dari reading literacy rate, scientific literacy rate, mathematical literacy rate, dan kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Data berikut tak memuat yang keempat. Pendekatan output menempatkan keluarga sebagai faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan. Selain itu adalah innate ability dan peers. Yang terakhir adalah school inputs. Secara sederhana, rumusannya adalah sebagai berikut:

Education = f (family, peers, school inputs, innate ability )

Sejauh ini kita berkutat pada school inputs.
Mengacu pada rumus di atas, pendidikan adalah faktor fungsional dari keluarga, teman sebaya (peers), beragam input sekolah dan kemampuan bawaan (innate ability). Khusus untuk segi input sekolah, untuk tulisan ini, tidak termasuk dalam kategori masalah dan akan menjadi bagian yang mungkin merupakan topik khusus di kesempatan lain. Ringkasnya, ada tiga aspek  yang akan coba diurai pada bagian awal dari serangkaian tulisan berkaitan dengan masalah yang tengah dihadapi oleh SMA Masehi Kebumen saat ini. Yakni faktor keluarga, rekan sebaya dan kemampuan bawaan peserta didik.

Seperti kita tahu, keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat dan bangsa. Pendidikan dalam keluarga sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat secara umum. Jika dalam keluarga itu senantiasa dihadirkan suasana demokratis misalnya, anggota keluarga akan melakukan hal sama di lingkungannya. Hal ini bukan saja pendapat pribadi saya, tapi banyak tulisan yang bersumber dari penelitian mengungkapkannya secara ilmiah dan rinci. Dengan kata lain, suasana pendidikan di dalam keluarga adalah cermin keadaan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Pada satu paparan, Timothy Wibowo menyuguhkan satu pandangan psikologis yang menurutnya mengejutkan dan menyakitkan yakni kecenderungan penurunan usia psikologis manusia Indonesia berusia 21 tahun dengan perilaku seperti anak usia 11 atau 12 tahun berdasakan perbandingan antara tahun 2001 dan 2011. Dalam satu dasawarsa saja, usia kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan banyak orang Indonesia di awal usia dewasanya berperilaku layaknya anak-anak yang baru memasuki usia akil balik. Penurunan kondisi psikologis ini sebenarnya mudah kita tangkap dari keseharian saat berinteraksi dengan mereka. Sikap manja, suka menuntut,ngambek dan beragam perilaku kekanakan lainnya banyak dikeluhkan para orang tua. Sementara itu, tidak sedikit pula orang tua yang bersikap serupa. Boleh jadi hal ini seperti pepatah buruk muka cermin dibelah. Senantiasa menyalahkan orang atau keadaan lainnya.
Mengurai peran keluarga dalam proses pembangunan pendidikan nasional tidak cukup dengan pembahasan satu dua lembar tulisan. Terlalu banyak hal yang saling berpengaruh dan perlu kajian mendalam. Hal penting yang ingin saya kemukakan dalam tulisan ini adalah faktor (pendidikan dalam) keluarga berdampak sangat luas dan dalam bagi upaya penyelenggaraan pendidikan nasional yang mampu mewujudkan karakter bangsa Indonesia yang pada dasarnya ramah, pantang menyerah dan mengutamakan kebersamaan(gotong royong). Banyak kajian sejarah dan psikologis yang menguatkan karakteristik itu

Jumat, 11 Oktober 2013

Bukan MMS Lagi !

CSR dan Socialpreneurship

Oleh: Toto Karyanto
Kemajuan teknologi informasi telah memasuki ruang-ruang pribadi setelah munculnya telepon selular (ponsel) generasi akhir yang mampu memuat dan meneruskan pesan multi media yakni video, foto dam teks. Tanpa perlu menyebut merk dan jenis aplikasinya, hampir semua orang Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan kota-kota besar telah mengenalnya. MMS yang merupakan kependekakan dari Multimedia Messaging Service atau layanan pesan multimedia ini adalah sebuah terobosan teknologi yang membawa dampak sangat luas dalam kehidupan manusia. Jika pesan tersebut semula harus dilakukan dengan bantuan PC (Pesonal Computer) atau desktop dan sejenisnya, kini di segala tempat dan waktu kita dapat melakukan dengan cukup baik dari sebuah ponsel android

Sebelum munculnya teknologi MMS, telah ada layanan pesan singkat (short messaging service) atau lebih dikenal dengan kependekannya yakni sms. Dan ada kecenderungan dalam kehidupan masyarakat kita ketika berekspresi memakai gaya bahasa sarkasme untuk menyikapi berbagai hal yang dianggap menyimpang. Sebagian menyebut ekspresi itu sebagai sindiran tajam atau plesetan nylekit.SMS diartikan sebagai Suka Melihat (orang lain) Susah. tentu kita tidak akan membahas kecenderungan penyimpangan sosial (social disorder) ini. Setidaknya untuk kesempatan ini. 

Lalu apa yang dimaksud MMS ? Bukan tentang jenis layanan pesan atau sarkasme, tapi memang sebuah plesetan dari Meraih Manis Sendiri. Manis yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sukses atau keberhasilan. Pesan yang ingin disampaikan adalah berubungan dengan rencana atau tepatnya Program Kewirausahaan yang akan diberlakukan sebagai upaya menguatkan rencana SMA Masehi kebumen sebagai SMA Plus di tahun-tahun mendatang. 

Biasanya, masyarakat awam mengenal karakter wirausaha sukses adalah totalitas keberhasilan pribadi yang bersangkutan. Di masa lalu, pandangan tersebut memang menjadi kecenderungan umum, kalau tidak dapat disebut dogma. Bahwa seorang pelaku wirausaha adalah orang yang individualis atau egois. Seiring perkembangan waktu, akhir-akhir ini muncul kecenderungan yang kian menguat bahwa pelaku bisnis yang sukses jika ia atau mereka mampu membawa kesuksesan juga bagi lingkungannya. Bahkan ada kewajiban bagi perusahaan yang telah masuk bursa saham untuk mencantumkan Program Pertanggung-jawaban Sosial (Corporate Social Responsibility atau CSR agar tidak mendapat hukuman yang nilainya dapat mencapai jutaan dolar Amerika Serikat atau miliyaran rupiah. Program CSR boleh disebut sebagai prestige atau kebanggaan perusahaan yang berdampak meningkatkan peringkatnya di mata masyarakat bisnis internasional. 

Di sisi perusahaan-perusahaan pribadi, kecenderungan menggandeng masyarakat dalam menjalankan aktivitas bisnisnya juga kian meningkat. Inilah yang menjadi gagasan dasar munculnya gerakan internasional kewirausahaan sosial (social preneurship). Apalagi bagi Indonesia yang telah menyatakan diri merdeka agar meraih kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya. Baik CSR maupun social preneurship seharusnya menjadi kewajiban konstitusional yang tidak boleh diabaikan oleh para pelaku bisnis korporat maupun individu. Maraknya praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) acapkali menjadi kendala serius dalam mewujudkan kewajiban ini. 

Peristiwa tertangkap tangan Ketua Majelis Konstitusi (MK) oleh KPK karena kasus suap. kemudian memicu gagasan untuk percepatan berlakunya hukuman mati atas pelaku korupsi adalah sebuah momentum tepat untuk mengoreksi dengan benar dan baik program CSR dan menguatkan gerakan kewirausahaan sosial di Indonesia ke depan dalam mewujudkan kewajiban konstitusional di atas. Jadi bukan masanya MMS lagi kan?  

Kamis, 10 Oktober 2013

Menuju SMA PLUS Bagian II

Logo Kebumen Kreatif-dapat dipakai untuk icon Plus
Oleh: Toto Karyanto
Awalnya, saya mengunggah sebuah foto siswa SMA Masehi Kebumen kelas XI (dulu = kelas 2) di grup fb "Alumni Masehi" dan Alumnus SMA Masehi Kebumen. Grup pertama boleh dibilang sebagai awal terjadinya trend penyelenggaraan Reuni SMA Masehi. Kebetulan banyak anggota grup berasal dari angkatan (kelulusan) 1980/1981. Satu diantaranya adalah saya yang memakai akun fb satu. Kebetulan lainnya, akun satu tadi sudah penuh dengan jumlah teman 5.112. Kemudian saya membuka akun fb dua atau Pak Itong . Akun dua memang ingin saya khususkan bagi teman-teman Relawan PMI, penggemar olahraga bridge di seluruh dunia serta perantau asal Kabupaten Kebumen. 

Setelah berkecimpung dalam proses belajar mengajar di almamater, SMA Masehi Kebumen, saya masih membawa kebiasaan hidup sebagai "orang lapangan" yang cara berpikir sederhana, praktis dan sesekali menerobos kebuntuan. Jujur, saya menerima kehormatan mengamalkan ilmu ekonomi di sekolah yang sedikit banyak telah membentuk sikap dan cara berpikir saya ini adalah melalui undangan Ibu Yosephine Fajar Winarni selaku Kepala Sekolah saat ini. Dengan niat tadi, naluri yang terbangun dari kebiasaan ikut menangani bencana bersama relawan dan organisasi PMI nasional maupun internasional terusik, muncul dan terus mengerucut dalam pola pikir penanganan keadaan darurat (emergency response) dengan setting suasana yang berbeda.

Jika dalam keadaan darurat bencana, pola tindak yang harus diikuti adalah mengedepankan cara efektif dan prioritas dibanding pendekatan formal dan efisien. Misalnya begini, ketika harus memilih melakukan evakuasi atau memberi pertolongan pertama, saya akan melakukan penilaian awal sebelum melangkah lebih jauh ke assesment (penelitian lapangan secara rinci tentang kebutuhan yang diprioritaskan). Sesekali dapat memilih, tapi kebanyakan realita yang ada di lapangan mengharuskan kami "berbuat lebih". Memberi pertolongan pertama sekaligus melakukan tugas evakuasi, humas (diseminasi) dan banyak aspek lain yang dipelajari sekaligus praktik lapangan. Ada yang menyebut pelaku respon darurat bencana harus orang yang multi talenta atau harus serba bisa meski hanya sedikit-sedikit. Naluri yang senantiasa mengemuka di saat merespon keadaan darurat. Satu sikap yang kadangkala dinilai berlebih atau ugal-ugalan. Bahasanya ceplas ceplos, cenderung mengabaikan pelajaran Bahasa Indonesia yang baik dan benar seperti yang ditekuni oleh Kepala SMA Masehi Kebumen sekarang, Ibu Yosephine F.W. 

Selain faktor naluriah tadi, saya yang tidak punya bekal didaktik metodik, gaya menyampaikan materi pelajaran yang saya lakukan adalah model pelatihan PRS (Pendidikan Remaja Sebaya) dan TOT (Training of Trainer) yang mengarah pada pendekatan life skill (ketrampilan bertahan dan menyikapi kehidupan nyata). Keduanya memang sering saya lakukan saat menjadi relawan PMI. Akibatnya, sesekali saya agak kebablasan dalam menyampaikan materi pelajaran. Kacaunya lagi, sesekali saya memasukkan cara-cara lazim dalam berolahraga contract bridge yang senantiasa memberi banyak pilihan dalam menghadapi situasi sulit. Dan lebih kacau lagi dengan masuknya pola teatrikal yang melatih pengaturan vokal dan "bermain mimik". 

Semua cara di atas saya lakukan agar energi yang masih tersembunyi atau potensi individu siswa dapat dieksplorasi maksimal. Dengan keyakinan bahwa pada dasarnya tidak ada siswa bodoh. Yang ada hanya rajin atau malas belajar. Dan belajar itu sepanjang masa, selama hayat dikandung badan. Dalam setiap tarikan nafas, selain bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kita wajib belajar. Terutama tentang kehidupan, bukan sebaliknya yang mematikan. Setiap orang punya potensi dan akan menjadi maksimal ketika beriringan terus dengan semangat tinggi dalam proses belajar. Ini adalah bagian dari pendekatan PSP (Psichological Support Program) yang coba diterapkan secara kontekstual. Satu diantaranya adalah merespon keinginan siswa atas kehadiran orang tua asuh di atas.

Pendekatan PSP secara kontekstual saya terapkan dalam kapasitas tugas mengampu Bidang Kesiswaan. Yang jelas, sikap yang dikedepankan adalah senantiasa berprasangka baik. Tentu saja dengan pemantauan cukup ketat. Dengan memberi kepercayaan (memelihara sikap positif) siswa yang menjadi "anak asuh" tidak hanya menerima suplemen fisik material, juga mendapat extra poeding psikologis. Upaya yang berkesan "melawan arus besar pemikiran (mindset)" adalah sebuah pendekatan yang diadopsi dari PSP tersebut. Dan sementara waktu ini, pendekatan tadi belum perlu dikoreksi sampai muncul gagasan cerdas dari seorang alumni yang Diaspora Indonesia di Hongkong dalam mendukung realisasi konseptual menuju Plus buat almamaternya. Yakni, menyediakan alat dan buku-buku lengkap di bidang pengembangan ekonomi kreatif: busana (fashion).

Mengingat keterbatasan sumber daya yang ada di sekolah (SMA Masehi Kebumen) saat ini, terutama di bidang keamanan dan pemeliharaan aset bernilai ekonomi tinggi, saya mengajukan usulan agar pilot project Pelatihan dan Pengembangan Kewirausahaan diselenggarakan di rumah saya dengan alasan sebagai berikut:
  1. Saat ini, sebagian ruang kelas yang dulu merupakan aula sampai ruang paling depan serta kantor SMA dan ruang di sebelahnya, masih dalam status dikontrakkan sampai dengan akhir April 2014. 
  2. Faktor keamanan dan kenyamanan beraktivitas. Saat ini, ada satu ruang yang dapat dipakai untuk menyelenggarakan kegiatan pelatihan dan pengembangan kewirausahaan 3 bidang (sub sektor) ekonomi kreatif yaitu kerajinan anyaman pandan dan busana  berukuran 4 x 10m serta seni pertunjukan dengan ukuran lebih luas.
  3. Sumber tenaga listrik dapat ditingkatkan maksimal sampai tak terbatas dengan metode pulsa.
  4. Ada jaringan telepon PSTN dan internet aktif. 
  5. Dapat disediakan sarana asrama, jika diperlukan.
  6. Ruang parkir di halaman belakang dapat menampung lebih dari 10 kendaraan roda 4 (kalau perlu).
  7. Beberapa tenaga pelatih/fasilitator potensial lebih menyukai tempat penyelenggaraan di rumah ketimbang di sekolah.
  8. Sebagai pilot project lebih sesuai dengan kondisi pada butir 2 s/d 7.
Sebagai tambahan informasi, ada beberapa aktivitas industri mikro dan kecil yang berjalan di Kabupaten Kebumen yang berkaitan dengan kegiatan jahit menjahit yakni: peci dan topi (termasuk kopiah) serta konveksi aneka tas di Desa Bandung, Tanahsari dan sekitarnya di Kecamatan Kebumen. Selain itu, ada kerajinan kesed ekspor dari limbah industri konveksi kaos yang telah berkembang pesat di Kecamatan Kuwarasan (Irma Suryanti dan Mutiara Handycraft). Dan juga cluster anyaman pandan yang sangat membutuhkan sentuhan teknologi produksi aneka yang sebagian besar diantaranya sangat memerlukan sentuhan para ahli jahit. 

Banyak hal produktif dan inovatif yang dapat dilakukan dengan kehadiran pelatihan kewirausahaan berbasis OVOP dan ekonomi kreatif bagi siswa/i SMA Masehi Kebumen dengan keterlibatan lebih banyak alumni seperti yang akan dilakukan oleh Diaspora Indonesia yang mengaku dari angkatan 1995 tadi. Dampak positif dari penyelenggaraan kegiatan ini bukan hanya dapat dirasakan oleh siswa dan sekolah, tapi juga masyarakat Kabupaten Kebumen pada umumnya. Silakan buka dan teliti isi kotak DISEMINASI situs resmi Pemkab Kebumen. Dengan pilot project ketrampilan jahit menjahit ini, predikat Plus untuk SMA Masehi ke depan bukan hanya sangat mungkin. Tetapi akan menjadi program unggulan yang melancarkan upaya-upaya nyata mengembalikan posisi SMA Masehi di masa kejayaannya. Bahkan sangat mungkin menyejajarkan diri dengan SMK Negeri 1 Surakarta yang mengorbitkan nama merk mobil Esemka. Semoga.  

Senin, 07 Oktober 2013

Menuju SMA Plus Bagian I



Oleh: Toto Karyanto

Ketika berbincang dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Ibu Dra. Tri Handari, saya sempat menanyakan beberapa hal tentang hasil kordinasinya dengan Pengawas SMA di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kebumen yang memberi pilihan bagi SMA Masehi Kebumen agar ditutup atau dihentikan kegiatan belajar mengajarnya karena jumlah peserta didik tidak memenuhi syarat minimal. Dengan gaya dan suara khas, beliau menampik pilihan itu dengan alasan bahwa SMA Masehi Kebumen tetap berjalan dengan segenap kendala yang harus dihadapi agar mampu memberi peluang bagi siswa (peserta didik) yang miskin secara ekonomi tetap dapat mengikuti proses belajar mengajar di sekolah ini sesuai dengan amanat Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Atas jawaban tersebut, secara pribadi, alumni SMA Masehi Kebumen dan Generasi Muda Tentara Pelajar saya memberi apresiasi sangat tinggi. Bahkan beliau menyatakan optimismenya bahwa tahun pelajaran 2014/2015 SMA Masehi Kebumen dapat memulai langkah menuju SMA Plus Kewirausahaan. Artinya, kurikulum SMA Masehi tetap mengacu pada kurikulum nasional (2013) dengan kegiatan ekstra kurikuler yang berisi aneka kegiatan kewirausahaan.

Mungkin ada pertanyaan seputar kesiapan sekolah, terutama ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta dana. Tentu saja, hal tersebut telah dipikirkan cukup matang agar penyelenggaraannya dapat berjalan dengan benar dan baik. Dalam hal ini, sistem yang akan diterapkan adalah progresif. Suatu sistem sederhana yang mudah dipahami dan akan terus diperbaiki selama proses penyelenggaraan. 

Sebagai gambaran awal, muatan lokal yang biasanya diisi dengan pelajaran Bahasa Jawa akan ditingkatkan menjadi OVOP (One Village One Product) Kerajinan Anyaman Pandan bekerjasama dengan Kluster Anyaman Pandan di Kecamatan Karanganyar dan Karanggayam untuk teknis produksi serta Himpunan Perajin Anyaman Indonesia (Hipando) Pusat untuk pengembangan desain dan pemasaran produk. OVOP Kerajinan Anyaman Pandan adalah satu tema besar yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kebumen sebagai bidang utama dalam Riset Unggulan Daerah yang dilombakan dan tengah berjalan. Produk dasar anyaman pandan yang dalam istilah lokal disebut complong produksi para perajin anyaman pandan Kabupaten Kebumen selama ini dianggap yang terbaik untuk bahan baku produk-produk kerajinan berbasis anyaman pandan di Tasikmalaya, D.I. Yogyakarta dan Bali. 

Dengan adanya perubahan isi muatan lokal ini, peserta didik dilatih untuk mampu memahami dan memanfaatkan potensi besar yang ada di lingkungan sekitarnya. Sehingga kendala sumber daya dan sarana dapat diminimalkan. Bahkan diangkat ke permukaan sebagai satu kekuatan yang memadai. Siswa dilatih dengan materi tentang kecakapan hidup (life skill) dan berwawasan kewirausahaan. Potensi kreatif yang ada pada diri setiap siswa diarahkan untuk secara terus menerus digali dan dikembangkan secara optimal untuk hal-hal positif dan inovatif. Di sisi inilah, pembangunan karakter manusia Indonesia yang merdeka dalam arti luas akan tumbuh dan berkembang. (bersambung)       

Minggu, 06 Oktober 2013

Menjadi Guru Inspiratif, Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa


Oleh : Ngainun Naim (Dosen STAIN Tulungangung)
Saya menulis buku Menjadi Guru Inspiratif tahun 2008. Ide menulis datang secara tidak sengaja. Dalam suatu perbincangan santai, seorang teman kuliah bercerita mengenai guru-guru dan dosen-dosen yang pernah mengajarnya. Ia bilang adabeberapa dosen yang hebat dan menanamkan pengaruh besar. “Mereka itu inspiratif”, katanya. Namun banyak yang biasa-biasa saja sehingga kemudian dilupakan oleh para siswanya.
Diskusi tersebut meninggalkan kesan mendalam pada diri saya. Ada berbagai pertanyaan yang muncul, seperti mengapa tidak semua dosen memiliki sifat yang inspiratif? Bagaimana menjadi seorang pendidik yang inspiratif?
Kegelisahan dan berbagai pertanyaan terus terngiang dalam benak saya. Sebagaimana dikatakan oleh Milan Kundera bahwa “Ingatan dan kenangan adalah hal terindah dalam hidup”, saya kemudian mengingat pengalaman belajar, terutama berkaitan dengan seperti saja karakter para guru saya. Ketika sekolah di MTs, misalnya, saya bukan orang yang menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran ini, menurut saya, hanya mengotak-atik hal-hal sederhana. Berbicara dan membaca sebagian besar kita lakukan dalam bahasa Indonesia. Terus mengapa mesti masih harus belajar Bahasa Indonesia? Ketidaksukaan saya semakin memuncak ketika ada tugas mengarang. Rasanya, ini bagian dari pelajaran bahasa Indonesia yang paling memusingkan.
Guru inspiratif, yang kemudian menjadi judul buku ini, adalah hasil pergulatan, diskusi, perenungan, dan kajian yang saya lakukan. Saya kemudian mengembangkan gagasan ini, mencari relevansi, dan konteksnya. Menurut saya, ini merupakan suatu hal menarik. Tetapi mengapa hanya sedikit guru yang semacam itu?
Dalam penulisan buku ini, saya berusaha mencari berbagai bahan pustaka pendukung, baik dari buku maupun internet, dan juga renungan pengalaman pribadi. Ternyata, guru inspiratif hanyalah sebagian kecil saja dari guru-guru kita. Sebagian besarnya adalah guru kurikulum, yaitu guru yang mengajar demi tuntutan menyelesaikan target yang telah ditentukan oleh kurikulum. Dalam pandangan guru kurikulum, ukuran keberhasilan adalah ketika siswanya dapat memperoleh nilai maksimal dari mata pelajaran yang telah disampaikan. Tidak lebih. Persoalan bagaimana siswanya kemudian berdaya, berubah menjadi lebih baik, lebih maju, dan seterusnya, tidak masuk hitungan.
Inilah yang menggelisahkan saya. Coba misalnya separuh saja dari seluruh guru Indonesia adalah guru yang inspiratif, tentu hasilnya akan luar biasa. Indonesia tidak akan terpuruk dan terus menerus didera beragam persoalan seperti sekarang. Guru inspiratif akan senantiasa memberikan motivasi dan modal kepada para siswanya untuk mampu menghadapi perubahan. Tantangan demi tantangan akan mampu ditundukkan, walaupun tantangan tersebut tidak ringan. Manusia tahan banting yang tidak larut dalam perubahan hanya mampu dihasilkan oleh guru inspiratif.
Oleh karena itu, yang penting adalah bagaimana membangun spirit inspiratif di kalangan guru-guru kita. Guru inspiratif, menurut saya, adalah guru kurikulum plus. Maksudnya, selain mengajar secara maksimal berdasarkan kurikulum, ada nilai plusnya, yaitu memberikan modal lain bagi kehidupan para siswanya dalam menghadapi hidup. Dan guru inspiratif bisa diciptakan.
Mungkin ini terlalu muluk, tetapi bukan suatu hal yang mustahil. Pentingnya guru inspiratif harus terus menerus disuarakan, diperjuangkan, dan diwujudkan. Dengan begitu, ada harapan perubahan yang lebih baik di masa depan. Guru inspiratif bukan segala-galanya, tetapi adanya guru inspiratif akan memberikan kontribusi yang luar biasa bagi perubahan dalam kehidupan siswa-siswanya.
Makna Guru Inspiratif
Setiap orang yang pernah belajar pasti memiliki guru. Jumlah guru yang mengajar kita jumlahnya sangat banyak, namun tidak semuanya kita kenang. Bahkan ada guru yang kita tidak lagi mengingatnya. Hanya sebagian saja dari guru yang pernah mengajar yang kita kenang karena “keistimewaan” tertentu yang ada pada guru tersebut. Para siswa biasanya menyebutnya sebagai guru idola atau guru favorit.
Dalam tipologi umum, guru secara sederhana dapat dibagi menjadi dua. Pertama,guru kurikulum yaitu sosok guru yang amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan sesuai dengan acuan kurikulum. Guru kurikulum mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum, kata Rhenald Khasali, seorang guru besar UI, mewakili sebagian besar guru yang pernah ditemuinya. Jika mengikuti logika Khasali, berarti sebagian besar guru adalah guru kurikulum. Mereka mengajar hanya untuk memenuhi tuntutan kurikulum. Tugas mengajar akan dianggap selesai dan sukses manakala apa yang tercantum dalam kurikulum sudah disampaikan secara tuntas, dan para siswanya mampu menguasainya secara baik. Tolok ukur keberhasilan mengajar bagi guru tipe ini adalah angka-angka kuantitatif yang diperoleh dalam evaluasi. Tidak ada orientasi lainnya yang lebih luas.
Tipologi yang kedua adalah guru inspiratif, yaitu guru yang memiliki orientasi jauh lebih luas. Guru inspiratif tidak hanya terpaku pada kurikulum, tetapi juga memiliki orientasi yang lebih luas dalam mengembangkan potensi dan kemampuan para siswanya. Sayangnya, jumlah guru inspiratif amat terbatas, hanya sekitar 1 persen saja. Guru inspiratif bukan guru yang hanya mengejar kurikulum, tetapi lebih dari itu, mengajak siswa-siswanya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak siswa-siswanya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, maka guru inspiratif akan melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama. Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan.
Menyulut Spirit Inspiratif
Masyarakat masa depan adalah masyarakat yang terbuka di mana hanya manusia unggullah yang dapat bertahan atau memanfaatkan kesempatan yang terbuka. Masyarakat masa depan mengagungkan kualitas yang hanya dapat diproduksi oleh manusia-manusia unggul. Hanya manusia unggullah yang dapat bersaing. Dengan keunggulan itulah manusia dapat hidup terus dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Manusia unggul adalah manusia yang dapat berfikir kreatif dan produktif, yang tidak menerima status quo dan selalu menginginkan sesuatu yang baru yang lebih baik. Dan oleh sebab itu, manusia unggul adalah manusia inovatif” — HAR Tilaar.
Menjadi guru inspiratif ternyata tidak mudah. Hal ini disebabkan karena karakter inspiratif tidak bersifat permanen. Suatu saat, seorang guru dapat menjadikan dirinya begitu inspiratif di mata para siswanya. Sementara di saat yang lain, karakter semacam itu memudar. Oleh karena itu, spirit inspiratif harus dikondisikan agar senantiasa menjadi bagian tidak terpisah dari diri seorang guru.
Hal penting yang harus dilakukan seorang guru adalah bagaimana senantiasa berusaha menemukan pemantik dan penyulut spirit inspiratif. Dengan usaha yang dilakukan secara terus menerus, penuh semangat, dan dilandasi oleh keyakinan yang kokoh, maka spirit inspiratif akan dapat tetap terjaga secara stabil. Naik turunnya spirit inspiratif sebenarnya merupakan hal wajar dan manusiawi.
Bagaimana menyulut spirit inspiratif? Jawaban atas pertanyaan ini memang tidak mudah. Setiap guru dapat memiliki cara dan mekanisme tersendiri untuk melakukannya. Pengalaman masing-masing guru bisa jadi berlainan. Ada yang berusaha melakukan evaluasi diri, ada yang membaca buku-buku motivasi, membaca biografi tokoh-tokoh sukses, melakukan relaksasi, dan beraneka teknik lainnya. Memang tidak ada teori baku dan universal yang menjelaskan terhadap persoalan ini.
Menurut penulis, spirit inspiratif dapat dibangkitkan dengan beberapa cara. Pertama,komitmen. Komitmen sebagai guru inspiratif harus dibangun secara kokoh dalam jiwa. Komitmen akan memberi makna yang sangat penting terhadap apa yang kita kerjakan, kita lihat, kita rasa, kita dengar, dan kita pikirkan. Setiap mengajar, sejauh kita memegang komitmen, maka kita akan senantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk memberi inspirasi kepada para siswa. Mengamati bagaimana siswa kurang bergairah belajar, maka komitmen sebagai guru inspiratif akan melahirkan beragam usaha untuk membangkitkan semangat mereka terhadap belajar. Melihat siswa yang dinilai bermasalah, spirit inspiratif akan terdorong untuk melacak penyebabnya dan mencari jalan keluarnya. Menghadapi hasil evaluasi yang kurang memuaskan, spirit inspiratif akan tergerak untuk menemukan cara-cara konstruktif untuk meningkatkan prestasi. Begitu seterusnya. Setiap ada persoalan, spirit inspiratif selalu memunculkan dorongan dalam diri guru untuk mencari jalan pemecahannya.
Kedua, membangun kecintaan terhadap profesi. Mengajar yang dilandasi oleh kecintaan yang mendalam akan melahirkan dan menyulut spirit inspiratif secara kokoh. Cinta yang kuat dapat menggerakkan jiwa untuk senantiasa penuh semangat, yakin, optimis, dan penuh harapan. Besarnya cinta terhadap profesi, terhadap tanggung jawab, terhadap masa depan siswa, dan terhadap tanggung jawab kepada Allah, akan menjadikan mengajar menjadi sedemikian memberdayakan, penuh kenikmatan dan penghayatan. Bagi seorang guru, jangan sampai tugas mengajar dilakukan karena faktor keterpaksaan. Ini merupakan sesuatu yang fatal, karena sikap terpaksa akan menjadikan mengajar hanya sebagai pemenuhan kewajiban saja. Tidak ada lagi spirit dan cinta yang mampu melandasinya. Tidak ada lagi visi lebih luas dan mendalam yang dibangun. Spirit inspiratif tidak akan muncul pada guru yang memiliki karakter semacam ini. Mereka yang mengajar secara terpaksa akan kehilangan gairah dan orientasi yang lebih luas. Mengajar kemudian dilakukan hanya sekedarnya saja. Mengajar dalam keterpaksaan akan menimbulkan efek psikologis yang kurang baik terhadap diri guru sendiri dan juga para siswanya. Lebih jauh, kondisi ini akan menyebabkan pembelajaran tidak mampu mencapai hasil maksimal sebagaimana diharapkan.
Ketiga, menajamkan visi. Visi, menurut Philip Kotler, merupakan an ideal standar of excellence (standar ideal kesempurnaan) yang ingin kita raih. Atau bisa juga dimaknai sebagai a dream must be achieve (mimpi yang harus kita raih). Visi sebagai guru inspiratif akan menjadikan segala aktifitasnya senantiasa diarahkan untuk menuju kepada hal tersebut. Visi ini akan menuntut bukti dan perjuangan. Dengan merumuskan visi ini, seorang guru inspiratif akan membuat kemajuan yang berarti, walaupun menghadapi tantangan yang tidak ringan. Seorang guru yang tidak memiliki visi tidak akan membuat kemajuan, walaupun mungkin ia berada di jalan yang mulus.
Karakteristik Guru Inspiratif
Guru inspiratif akan selalu memberikan perspektif pencerahan kepada para siswanya. Mereka tidak sekedar mengajar sebagai kewajiban sebagaimana ditentukan dalam kurikulum, tetapi juga senantiasa berusaha secara maksimal untuk mengembangkan potensi, wawasan, cara pandang, dan orientasi hidup siswa-siswanya. Sebab, kesuksesan mengajar tidak hanya diukur secara kuantitatif dari angka-angka yang diperoleh dalam evaluasi, tetapi juga pada bagaimana para siswanya menjalani kehidupan selanjutnya setelah mereka menyelesaikan masa-masa studinya.
Kriteria guru yang inspiratif memang belum terumuskan secara jelas. Ini merupakan hal yang wajar karena definisi guru inspiratif sendiri bukan sebuah definisi yang populer dan baku dalam dunia pendidikan kita. Namun demikian, bukan berarti tidak ada kriteria. Berdasarkan penelusuran literatur, diskusi, dan perenungan, penulis menemukan beberapa kriteria untuk mengukur apakah seorang guru dapat dikategorikan sebagai guru inspiratif atau bukan. Tentu saja, apa yang penulis kategorikan sebagai kriteria inspiratif ini bukanlah sebuah kriteria kaku. Sangat mungkin pembaca menemukan kriteria-kriteria lainnya yang dapat melengkapi kriteria yang penulis rumuskan.
Pertama, terus belajar. Belajar menambah pengetahuan secara terus menerus merupakan hal yang harus dilakukan oleh seorang guru inspiratif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat menjadi tantangan bagi guru untuk terus mengikutinya. Akses menambah ilmu sekarang ini semakin terbuka. Sumber pengetahuan tidak hanya dari buku. Sekarang ini, ada beraneka sumber belajar yang bisa didapatkan.
Kedua, kompeten. Bagi seorang guru, memiliki kompetensi berarti memiliki kecakapan atau kemampuan untuk mengajar. Tentu saja, kompetensi ini tidak sekedar mampu dalam makna yang minimal, tetapi mampu dalam makna yang mendalam.
Ketiga, ikhlas. Guru yang mengajar bukan karena dilandasi oleh keikhlasan, tetapi karena semata-mata mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai guru akan dinilainya hanya dari segi capaian materi semata. Apabila yang menjadi orientasi utamanya adalah materi, maka si guru akan mengalami kegoncangan psikologis apabila ia merasa tidak seimbang antara apa yang ia kerjakan dengan honorarium yang ia terima. Sebagai akibatnya, ia akan kehilangan semangat mengajar. Mengajar dilakukan hanya sekedarnya sebagai bagian untuk memenuhi syarat mendapatkan gaji.
Keempat, spiritualis. Aspek spiritualitas menjadi aspek penting yang mempengaruhi sisi inspiratif atau tidaknya seorang guru. Memang sisi ini bukan sebuah keharusan, tetapi adanya sisi spiritualis ini akan semakin mengukuhkan dimensi inspiratif seorang guru. Bagi seorang guru, khususnya guru agama Islam, aspek spiritualitas merupakan aspek yang harus dimiliki yang membedakannya dengan guru bidang studi lainnya. Guru agama bukan sekedar sebagai “penyampai” materi pelajaran, tetapi lebih dari itu, ia adalah sumber inspirasi “spiritual” dan sekaligus sebagai pembimbing sehingga terjalin hubungan pribadi antara guru dengan anak didik yang cukup dekat dan mampu melahirkan keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan materi pengajarannya.
Kelima, totalitas. Totalitas merupakan bentuk penghayatan dan implementasi profesi yang dilaksanakan secara utuh. Dengan totalitas, maka seorang guru akan memiliki curahan energi secara maksimal untuk mendidik para siswanya. Dalam kaitannya dengan totalitas ini, menarik untuk merenungkan pernyataan Win Wenger (2003), “Apapun bidang yang sedang Anda pelajari, tenggelamkan diri Anda ke dalamnya. Bangunlah hubungan saraf-inderawi (neuro-sensori) dengannya sebanyak mungkin indera dan imajinasi Anda”.
Keenam, motivator dan kreatif. Motivasi dalam diri siswa akan terbangun manakala siswa memiliki ketertarikan terhadap apa yang disampaikan oleh guru. Hubungan emosional ini penting untuk membangkitkan motivasi siswa. Motivasi akan sulit dibangun manakala dalam diri siswa tidak terdapat ketertarikan sama sekali terhadap guru.
Ketujuh, pendorong perubahan. Guru inspiratif akan meninggalkan pengaruh kuat dalam diri para siswanya. Mereka akan terus dikenang, menimbulkan spirit dan energi perubahan yang besar, dan menjadikan kehidupan para siswanya senantiasa bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Guru semacam inilah yang banyak melahirkan para tokoh besar. Mereka sendiri mungkin sampai sekarang tetap berada di tempatnya tinggal, tetap dengan kesederhanaannya, dan tetap menularkan virus inspiratif kepada para siswanya yang terus datang silih berganti, sementara para siswanya yang terinjeksi spirit hidupnya telah berubah dan menjadi seorang yang memiliki capaian besar dalam hidupnya.
Kedelapan, disiplin. Dalam konteks disiplin, keteladanan guru menegakkan disiplin akan menjadi rujukan bagi para siswa untuk juga membangun kedisiplinan. Bagaimana mungkin para siswa akan dapat menjalankan disiplin dengan baik, jika guru sendiri tidak memberikan keteladanan? Aspek yang akan lebih meneguhkan tertanamnya budaya disiplin dalam diri anak didik dalam menegakkan wibawa dan keteladanan adalah konsistensi, atau dalam bahasa agama disebut dengan istiqamah. Sebuah aturan yang ditegakkan tanpa konsistensi akan menghancurkan kewibawaan. Lebih jauh, budaya disiplin pun akan sulit diharapkan untuk tumbuh subur. Dalam hal ini, guru dan pihak sekolah harus membangun sistem yang tidak memungkinkan terjadinya faktor-faktor yang memutus budaya disiplin.
Inspirasi Guru dan Perubahan Jalan Hidup Siswa
Pada dasarnya, peran guru inspiratif bukanlah faktor tunggal yang akan menentukan keberhasilan dalam hidup seseorang. Keberhasilan seseorang dalam hidup setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal; peran pribadi guru inspiratif, kemampuan guru inspiratif membangun iklim pembelajaran yang semakin menyuburkan arti dan makna inspiratif, serta usaha siswa sendiri untuk meraih kesuksesan, baik ketika masih sekolah maupun setelah menyelesaikan jenjang pendidikannya. Pada titik inilah, guru inspiratif memiliki peranan penting dalam menyulutkan api pemantik kesuksesan dalam kehidupan para siswanya.
Tetapi jika inspirasi dan hasrat tersebut berhenti dan hanya sebatas sebagai bentuk ekspresi kekaguman semata, tentu saja perubahan tidak akan terjadi dalam diri para siswa. Perubahan sebagai dampak dari guru inspiratif akan betul-betul terjadi manakala para siswa tersebut melakukan aksi untuk meniru, memberdayakan diri, dan mengembangkan dirinya untuk menjadi seorang siswa yang memiliki kemampuan dan penguasaan bahasa Inggris dengan baik, sebagaimana gurunya.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis dan juga memupuk beberapa potensi kreatif sebagai modal penting yang mampu mengubah inspirasi yang ada menjadi revolusi diri. Langkah yang justru lebih penting setelah memperoleh pengaruh positif dari guru inspiratif adalah bagaimana melakukan aksi sebagai bentuk pengungkapan hasrat dan kemauan untuk berubah demi melejitkan potensi diri. Langkah-langkah perubahan ini sangat penting untuk dilakukan karena hanya dengan jalan semacam inilah pengaruh dari seorang guru inspirasi betul-betul dirasakan secara nyata dalam bentuk revolusi diri menuju ke arah aktualisasi potensi diri. Inilah salah satu agenda penting yang memerlukan kerja keras untuk mewujudkannya.

Sabtu, 05 Oktober 2013

ANTARA SOCIOPRENEURSHIP DAN OVOP


Wirausaha sosial adalah individu yang memiliki solusi inovatif untuk mengatasi masalah sosial dengan cara mengubah sistem, memberikan solusi dan memengaruhi masyarakat untuk melakukan perubahan. Awalnya ia bertindak dalam skala lokal kemudian dapat diperluas. Inovasi yang dikembangkan adalah solusi inovatif dan menciptakan kesempatan baru. Misi sosialnya mengatasi masalah sosial yang paling menekan. Dampak dari adanya wirausaha sosial ini adalah perubahan skala luas, mengubah sistem dan menyebar luaskan solusi (Bill Drayton, CEO and Chair of Ashoka).

OVOP pada dasarnya adalah upaya pengembangan sumber daya ekonomi lokal berbasis budaya dalam suatu bentuk produk atau jasa yang dapat diterima secara global (local yet global), kepercayaan diri dan kreativitas (self reliance and creativity) serta pengembangan sumber daya manusia. OVOP digagas untuk mengatasi masalah lokal perfektur Oita di Jepang yang tidak memiliki sumber daya yang memungkinkan investasi untuk pengembangan ekonomi berbasis teknologi tinggi. Akhirnya diputusakan untuk mengembangkan bidang pertanian dan perikanan yang pada akhirnya membawa kemakmuran bagi masyarakatnya.

Kisah sukses OVOP diadopsi dalam beragam aplikasi di berbagai negara. Thailand bahkan dianggap sebagai satu diantara berbagai negara yang mampu menyerap dan mengembangkan gagasan OVOP melalui OTOP (One Tambon One Product). Tambon adalah istilah lokal untuk sebutan desa atau kawasan pedesaan. Mereka menghadirkan internet disetiap tambon agar aktivitas produktif dan kreatif masyarakat dapat disajikan secara nyata dan terbaru. Satu prestasi yang kini diunggulkan dalam OTOP adalah paket wisata air Chao Praya River. Paket yang sebenarnya tak begitu istimewa ini dikemas dalam beragam bentuk pertunjukan dan festival.

Indonesia adalah sebuah komunitas besar, Indonesia adalah sebuah kekayaan, jika kita mampu memadukan berbagai potensi dan daya yang kita miliki untuk pembangunan sosial. Kerjasama dan hubungan yang saling memajukan perlu kita perkuat di berbagai lini.
Dalam konteks pembangunan sosial, ada suatu kebutuhan untuk memadukan upaya-upaya dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat dengan pendekatan-pendekatan yang berkesinambungan. Atau dengan kata lain melakukan upaya pembangunan sosial melalui langkah-langkah kewirausahaan. Demikian isi sambutan Ketua Dewan Pembina AKSI (Asosisasi Kewirausahaan Sosial Indonesia) yang juga pendiri LSM Bina Swadaya yang menerbitkan majalah pertanian terkenal “Trubus”.

Berkembangnya aktivitas kewirausahaan di tengah masyarakat Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang sangat menarik. Kehadiran internet membuat banyak peluang terjadinya transaksi online. Bahkan bila kita cermati di dua media social terbanyak penggunanya yakni Facebook dan Twitter, aneka penawaran bisnis online hampir setiap saat dengan beragam jenis komoditas dan transaksi. Sayangnya, kesempatan besar itu belum mampu dimanfaatkan secara optimal karena kecenderungan pengguna media sosial tadi cenderung pasif dan tidak kreatif. Kebiasaan copy paste dan menjadi partisipan pasif yang hanya memberi apresiasi sederhana dengan cara menyukai produk atau hasil karya orang lain (tanda suka/like) adalah keadaan yang tidak mendukung penggalian potensi kreatif dan pengembangan upaya inovatif. 

Mengenang Pertempuran Sidobunder 2 September 1947

Monumen Palagan Sidobunder lama dan baru

Oleh: Djokowoerjo Sastradipraja; Prof. Dr; drh;

Pengantar

Pertempuran Sidobunder tercatat sebagai salah satu pengalaman kontak senjata dengan Belanda yang meminta korban anggota Tentara Pelajar Yogyakarta. Kisah pertempuran ini dimuat dalam buku “ Peran Pelajar dalam Perang Kemerdekaan” diterbitkan oleh Pusat Sejarah dan Tradisi Angkatan Bersenjata R.I, cetakan I 1985. Meski sudah didokumentasikan secara formal terasa bahwa banyak kejadian rinci yang belum terungkap dan karena itu dari para pelaku yang saat ini masih dalam keadaan sehat jiwa raga atas berkat karunia Tuhan Yang Mahaesa diharapkan dapat mengumpulkan memoir tertulis guna melengkapi dokumentasi mengenai partisipasi pelajar dalam perjuangan fisik.  (biografi beliau saya kumpulkan di bagian lain – Toto Karyanto).

Menempati Posisi Pertahanan di Sidobunder

Seksi kami mendapat tugas menggantikan Seksi Soedewo di front.  Menjelang akhir bulan Agustus pasukan pindah dari Kebumen naik kereta api ke Karanganyar dan menginap semalam di beberapa rumah sebelah Timur alun-alun Kabupaten yang letaknya tidak jauh dari stasiun. Sore hari saya mandi di kompleks nDalem Kabupaten dan sempat melihat-lihat sekeliling kabupaten serta alun-alun itu. Pada saat di Karangayar itu baru saya ketahui bahwa kedudukan front kami adalah di Selatan yaitu di desa Sugihwaras yang jauhnya sekitar 10km dari kota.
Dari anggota TP kompi 320 yang ada di Karanganyar hanyalah komandan kompi dan stafnya saja. Sedangkan Seksi Soedewo ada di Sugihwaras. Pimpinan kompi dan staf menceritakan bahwa Karanganyar pernah diserang oleh Belanda sampai di sebelah Barat alun-alun dan sempat terjadi kontak senjata sebelum musuh mundur kembali kea rah Gombong. Esok harinya, pagi-pagi sekitar pukul 6, seksi kami telah berangkat kea rah Selatan dengan terlebih dulu menyeberangi jalan kereta api di stasiun. Kebanyakan kami tidak membawa senjata karena senapan-senapan telah dibawa Soedewo yang ada di front. Gerakan pasukan tidak mengikuti barisan yang teratur, melainkan masing-masing berjalan sendiri-sendiri ayau bergerombol sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Seperti halnya juga di Kotabaru, Wates atau Kebumen, koleksi nyanyian kami tidak hanya lagu perjuangan, tetapi juga lagu-lagu asing seperti “ My bonny is over the ocean” dll. Malahan di antara nyanyian yang dinyanyikan itu termasuk juga nyanyian Belanda yang sewaktu jaman penjajahab kami pelajari dari buku “Kunt je nog zingen, zing dan mee”. Kedengarannya aneh, tetapi mengingat bahwa cukup banyak di antara kami itu dulu mengecap pendidikan Sekolah Dasar HIS atau ELS, dan di antara kamipun kadang-kadang melakukan percakapan antara sesame dengan bahasa Belanda. Jago penggembira nyanyi adalah Djokonomo. Dalam gerakan itu sama sekali tidak tercermin rasa takut dan semuanya terasa aman-aman saja meskipun kami melihat kea rah Barat dan membayangkan bahwa di sana sudah daerah yang dikuasai Belanda. Rakyat yang kami jumpai nampaknya seperti hidup dalam suasana damai saja. Dan dari mereka diperoleh informasi bahwa tidak ada Belanda saat itu di daerah mereka. Seingat saya tanggal itu adalah 29 Agustus (1947-pen).
Seksi Anggoro sampai di kediaman Pak Lurah Sugihwaras sekitar pukul 11 siang. Seksi Soedewo yang akan kami gantikan sebagian sudah siap tetapi sebagian lainnya masih belum kembali dari patrol. Sambil berbincang-bincang dan mendengarkan pengalaman anggota Seksi 322 tentang tugas di front ini, kami menikmati pembagian nasi bungkus (dengan daun pisang), santapan siang yang lauknya daging kambing gulai dengan kuahnya. Menu ini ternyata sama setiap siang dan petang. Kami selalu mendapat kiriman bungkusan ini (tentunya dari dapur umum) yang dibawa oleh “tobang” dalam keranjang besar. Kami yang baru datang tentu saja ingin tahu pengalaman serangan Belanda, kapan terjadi dan bagaimana cara melawannya. Kami juga tertarik mendengarkan bahwa pasukan Indonesia cukup banyak yaitu sejumlah kekuatan tangguh BPRI dan satu seksi pasukan India (asal tentara Inggris) yang memihak Indonesia.
Di sebelah Utara dan Timur ada pertahanan pasukan AOI (Hizbullah). Ada juga sekelompok kecil pasukan TNI di sebalah Barat. Di daerah itu juga ada seorang Jepang eks tentara Jepang yang memihak Indonesia. Ia dianggap sangat berpengalaman perang dan saya merasa aman karena pertahanan kami cukup kuat. Pak Lurah Sugihwaras sangat tinggi semangat perjuangannya yang sangat kami kagumi dan dia akrab dengan kami para pelajar pejuang. Suatu kali ia memuji pasukan India, tetapi tak lupa juga menceritakan terjadinya insiden “asmara” antara salah satu anggota pasukan itu dengan Marina gadis setempat. Pak Lurah memiliki gamelan dan saya sempat menabuh gambang dan kendang. Ridwan, penembak bren, mengomentari kemahiran saya menabuh gambang.
Sementara kami sibuk mencari ambilan oper senapan dari kawan-kawan yang digantikan. Saya memperoleh senapan karaben laras pendek (tanpa sangkur) tetapi tidak kebagian kantong atau sabuk peluru. Pada siang hari, yang berpatroli sudah kembali ke Sugihwaras dan menceritakan bahwa mereka sampai Karangbolong dan melihat beberapa serdadu Belanda tengah mandi di laut. Regu patroli sempat meletuskan beberapa kali tembakan dan mereka mengingatkan juga hahwa saat itu menjelang “koninginnedag” hari lahir Ratu Wilhelmina. Mereka menyarankan untuk mengganggu Belanda pada hari 31 Agustus itu. Pada sore hari, seksi 322 meninggalkan Sugihwaras kembali ke markas di Karanganyar.
Hari 30 Agustus pagi, saya bertugas ikut regu patroli sejumlah 5 – 6 orang bersama tentara Jepang tadi. Tujuannya ke Desa Sidobunder untuk memeriksa medan yang akan menjadi posisi daerah pertahanan seksi. Sewaktu berpatroli kami mendiskusikan cara berpatroli model Jepang dan Inggris. Kami kemudian memperagakan cara berpatroli India yaitu regu bergerak dalam satu kelompok, seorang yang berada di barisan terdepan menghadap lurus ke depan, diikuti anggota lain di kiri dan kanan (semacam posisi zig-zag- pen). Dan anggota yang berada di posisi paling belakang berjalan mundur menatap luruh arah belakang barisan itu. Patroli hanya sampai bagian Barat Sidobunder. Jadi hanya berjarak sekitar 2 km saja. Suasanya sepi dan kalaupun bertemu orang hanya ada laki-laki yang semunya gundul. Siang hari, kami sudah kembali ke Sugihwaras. Sore dan malam hari kami beristirahat dan berjaga di rumah pak Lurah yang dijadikan markas.
Keesokan hari, 31 Agustus pagi, kami diperkuat dengan tambahan satu regu patroli. Tetapi saya tidak ikut berpatroli. Kabarnya mereka berpatroli lebih jauh lagi ke daerah “niemandsland” dan siang sudah kembali ke markas. Pada saat itu, sekitar jam 4 sore, seluruh seksi dipindahkan mengambil posisi pertahanan di Desa Sidobunder. Penempatan juki dikelola oleh teman-teman dari Perpis (Persatuan Pelajar Indonesia – Sulawesi – pen) di bagian Timur sungai dekat pos TNI regular. Brend (Ridwan) mengambil posisi di kanan menghadap arah Barat Daya. Saya dan beberapa teman bersenjatakan karaben dan standgun buatan Demak Ijo mengambil posisi sekitar markas yang letaknya di sisi Utara jalan utama. Tetapi kami sering mondar mandir menyusuri jalan utama dan menyambangi posisi regu yang memegang juki sampai ke batas desa yang menghadap arah Sugihwaras. Bersama Rinanto, saya mendapat giliran jaga malam sekitar pukul 2 – 3 pagi.
Tanggal 1 September pagi dikirim satu regu yang salah satu anggotanya adalah Poernomo. Teman ini pernah menceritakan pengalaman menolong seorang wanita yang akan melahirkan bayinya. Sejak siang sampai malam, hujan terus turun dan membuat daerah di sekitar pertahanan kami becek serta sawah-sawah terendam air cukup dalam. Kami berjaga di dalam markas dan emperan rumah-rumah penduduk. Berteduh dan menunggu teman-teman kembali dari berpatroli. Ternyata mereka baru kembali sekitar jam 9 malam dan segera menceritakan hasil pantauannya. Mereka bilang kalau pasukan India telah mundur dari posisi pertahanan awal. Juga pasukan BPRI telah meninggalkan posnya di Puring. Sehingga daerah itu sampai Karangbolong menjadi kosong pasukan pertahanan. Ada indikasi bahwa Belanda akan segera bergerak. Informasi bahwa iring-iringan pasukan Belanda telah meninggalkan Gombong ke arah Selatan sudah kami terima. Karena itu, situasi ini kami anggap cukup serius. Tetapi kami bersikap menunggu sampai pagi dan baru mengambil tindakan. Di sela suasana serius itu, ada sebagian teman yang bercanda tawa dengan kelakar khas pelajar menjelang usia dewasa. Keadaan semacam ini belum pernah terjadi dalam tugas, karena itu terasa aneh. Dan selalu ada teman yang akan mengingatkan ketika sudah berlebihan dengan ucapan “ awas mati konyol “ yang terbukti sangat mujarab.          

Pertempuran Sidobunder

Tanggal 2 September adalah hari yang ternyata amat menyedihkan bagi seksi kami. Setelah semalam suntuk diguyur hujan dan diisi dengan canda tawa untuk membunuh waktu, pagi-pagi sekali di antara tidur lelap kami, hujan peluru membangunkan dan mulai dirasakan di sebelah Timur. Dalam sekejap, semua anggota pasukan menempati posisi bertahan di tempat masing-masing. Regu kami, termasuk komandan kompi Anggoro, menempati posisi di ladang kecil seberang jalan di depan markas. Kami “stelling” menghadap arah Selatan dan Timur. Saya stelling denagn cara menelungkupkan badan dan menghadap Selatan. Iman Sukotjo ada di sebelah kanan posisi saya. Sebagai komandan, Anggoro bergerak mobil mengatur posisi dan ia mendapat laporan berbagai posisi dari anggota seksi lainnya. Saya bilang kepada Imam Sukotjo bahwa isi karaben senapan saya tinggal 2 butir. 
Lanjutan:
Ia memberi saya tambahan 5 butir peluru dengan komentar mengapa tak meminta tambahan dua hari sebelumnya di markas Karanganyar saya ada pembagian logistik. Saya tak tahu ada pembagian itu. Meskipun saat itu saya menyadari kami sudah terkepung, namun saya membayangkan bahwa kami akan mampu bertahan karena adanya senjata bren dan juki. Sambil menanti peristiwa yang akan terjadi, kami sempat berbincang tentang adanya 2 orang yang menanyakan keberadaan markas di pagi sekali karena mereka memerlukan surat jalan. Setelah kami merangkai beragam kejadian dan adanya serangan yang tengah kami hadapi saat ini, akhirnya berujug pada kesimpulan bahwa mereka adalah mata-mata musuh.
Sesaat waktu terdengar tembakan brengun dari arah Timur yang semakin gencar dan mendekat. Pasukan Belanda mulai menghujani kami dengan tembakan mortir, tapi mengenai sisi Barat posisi kami. Sementara itu, kebun kecil yang menjadi tempat pertahanan kami luput dari sasaran tembak itu. Tembakan brengun musuh kian mendekat dan mendapat balasan dari pasukan kami. Sesaat kemudian, terdengar tembakan gencar dari arah Barat. Saya yang semula mengira tembakan balasan berasal dari pasukan kami, sesaat kemudian muncul teman-teman dari Perpis dari arah Barat.  Mereka memberitahu kalau juki-nya macet, tak dapat dipakai untuk membalas serangan musuh. Kami sadar bahwa sebenarnya pertahanan pasukan kami telah terkepung oleh pasukan musuh. Dan suara tembakan balasan itu berasal dari brengun Ridwan. Peluru senjata otomatis itu dirangkai menjadi rantai panjang tidak seperti bahan kain untu mitrallieur watermantel. Tapi dibentuk serupa vlinder (kupu-kupu). Saya perkiraan saat itu sekitar jam 7 pagi.
Komandan Anggoro memerintahkan kami bergerak untuk meloloskan diri dari kepungan pasukan musuh. Senapan Juki yang macet dilepas dari alat penggotongnya dan larasnya dipisahkan untuk diselamatkan. Dalam mencari jalan keluar dari kepungan musuh, ternyata pasukan kami terpecah menjadi dua rombongan. Sebagian bergerak ke arah Barat Daya dan sisanya ke Selatan. Saya mengikuti pasukan yang ke arah Selatan. Sebenarnya saya merasa janggal mengikuti pasukan yang ke Selatan karena diperkirakan posisi serangan pasukan Belanda dari arah Selatan dan Timur. Selain itu, saya tak mengenal medan itu karena tak pernah berpatroli ke arah itu. Karena sudah terlanjur mengikuti teman-teman, kami akan lihat dan rasakan perkembangan situasinya.
Kami bergerak di persawahan yang becek setelah diguyur hujan semalaman. Berjalan satu per satu di pematang sawah yang sempit itu. Seingat saya, posisi saya ada di urutan terbelakang dengan bertelanjang kaki. Sementara itu, sepatu lars pembagian justru saya gantungkan di leher. Di pundak ada tas berisi pakaian ganti. Di depan saya adalah Soepadi atau Abunandir, saya lupa hal itu. Mereka berdua adalah sahabat karib. Sesekali masih terdengar suara tembakan pasukan Belanda dari Selatan dan serpihan pelurunya jatuh di depan kami seperti suara batu-batu kecil yang berjatuhan. Saat itu saya  jadi ingat pelajaran mekanika tentang arah lintasan peluru. Dan desing peluru pasukan Belanda seperti praktikum pelajaran mekanika itu.
Tiba-tiba terdengar tembakan musuh dari depan dan jarak yang sang sangat dekat. Kami segera berpencar, bergerak maju menyeberang sungai lewat jembatan bambu dan masuk ke sawah. Saya melakukan hal sama dan ternyata telah berada di pinggir Selatan sungai itu. Sejenak saya merasa tak tahu harus berbuat apa karena serdadu Belanda telah nampak di batas sawah (Selatan) dalam jarak kurang sari 100m. Entah dari mana datangnya, Linus Djentamat dari Perpis telah berdiri membawa senapan juki kami yang macet. Segera saja saya mendekat dan ia meminta saya untuk bantu menyeberangkan juki  ke sisi Utara sungai itu. Linus lebih tua beberapa tahun dari umur saya. Secara naluriah, saya memang harus bersamanya menyelamatkan senjata itu. Peristiwa ini sangat menentukan hidup saya saat itu dan selanjutnya. Karena, dalam latihan kemiliteran yang pernah saya lakukan, selalu ditanamkan bahwa senjata itu sama nilainya dengan nyawa kita. Adalah kesalahan besar jika senjata kita sampai jatuh ke tangan musuh. Jadi, juki ini harus diselamatkan dan menjadi tugas yang sangat penting.
Saya masuk ke sungai yang airnya sebatas dada dan menerima  juki dari Linus yang kemudian saya angkat dengan kedua tangan untuk diseberangkan. Linus menyusul segara dan membawakan karaben saya. Sesampai di sisi Utara, kami bertukar senjata dan menyadari bahwa kami terpisah dari rombongan pasukan. Tak lagi sempat berpikir lebih jauh karena suara tembakan dari arah sawah terdengar semakin gencar. Linus bercerita pengalamannya 3 kali dikepung musuh. Berdasar pengalaman yang ia rasakan, pasukan Belanda tidak akan menduduki daerah yang diserang. Melainkan hanya sambil lalu, melakukan pembersihan dalam menuju pos pertahanan mereka. Ia usul agar kami bersembunyi untuk menyelamatkan juki itu. Semula saya ragu dan ingin menolak usulan Linus. Kenapa tak bertempur sampai titik darah penghabisan saja?
Agak masuk ke dalam desa, sekitar 15 m dari sungai terdapat sebuah rumah bambu menghadap ke SeLatan dengan pintu sleregan (sliding door ). Di depan rumah itu ada sebuah gubug kecil dari bilik bambu dan ternyata adalah ruangan tunggal berukuran 3 x 3m dengan pintu selregan juga yang menghadap ke rumah tadi. Linus mengajak saya memasuki gubug kecil itu. Kami mendapati bale-bale bambu sederhana di pojok Tenggara ruangan itu. Linus bilang agar kami bersembunyi di bawah kolong bale-bale. Ia masuk duluan, bertelungkup merapat ke dinding dengan juki-nya. Kepalanya menghadap ke Timur. Saya menyusul dan berbaring di sebelahnya dalam posisi berlawanan arah. Senjata karaben saya depan dalam posisi siap tembak ke arah pintu.
Tak lama berselang, desa itu dihujani peluru mortir yang semula terdengar jatuh di sisi Selatan sungai. Dan dentuman granat serta mortir berjauhan di sisi Timur, Barat dan Utara gubug. Serpihannya terdengar jatuh sangat dekat dengan posisi kami. Setelah hujan tembakan mortir mereda, terdengar suara rentetan bunyi tembakan brendgun yang kian mendekat. Sering terdengar suara pohon bambu bertumbangan dihajar oleh rentetan tembakan  peluru brendgun  itu. Sesaat kemudian terdengar suara dalam Bahasa Belanda agar kami menyerah. “ Opgeven jongens!” beberapa kali.
Pasukan Belanda nampaknya memang telah menguasai desa itu. Tapi tak ada suara mengaduh atau erang kesakitan dari teman-teman sepasukan. Kesimpulan saya, kami berdua terpisah dari pasukan. Sesaat kemudian, terdengar pasukan Belanda mendekat gubug kami di arah Selatan, Timur dan Barat dinding. Ada yang hanya berjarak setengah meter, tapi tak ada yang melintas di antara rumah dam gubug. Dari percakapan mereka, ternyata tidak semua pasukan Belanda adalah orang Belanda atau Barat. Tapi ada juga yang memakai dialek lokal atau bukan Belanda. Selang beberapa saat, terdengar pasukan Belanda menjauh dari posisi kami ke Utara dan Timur. Hal itu terdengar dari bunyi tembakan yang mereka muntahkan. Lalu suasana menjadi sangat hening. Suara kokok ayam jago menjadi suara terindah pertama yang kami dengar. Sehingga cukup lama berselang, kami tetap bertahan dalam posisi berdiam diri dan siaga.
Menjelang tengah hari, Linus mengajak saya beranjak dari tempat persembunyian. Linus menyuruh saya memeriksa keadaan di luar. Dengan menguatkan hati, saya memberanikan diri menuju rumah di depan gubug dan memeriksanya secara saksama. Ternyata rumah itu kosong dan saya segera kembali ke gubug melapor semua hal yang saya ketahui. Lalu, Linus gantian ke luar dan saya masuk kembali ke gubug untuk menjaga juki itu. Kepergian Linus cukup lama dan membuat saya menjadi was-was. Sesaat berikutnya terdengar suara orang desa itu disusul oleh suara Linus. Ia berbicara dalam Bahasa Jawa kromo. Sementara Linus memakai bahasa ngoko. Segera saja saya keluar dan bergabung dengan mereka. Penduduk desa itu adalah lelaki dewasa berkepala pelontos. Di saat itu, barulah saya tahu bahwa posisi persembunyian kami ada di Desa Bumirejo. Dari desa ini ada jalan yang mudah dilalui melalui Desa Sugihwaras ke arah Puring.
Oleh penduduk desa itu kami diajak melihat para korban pertempuran. Senapan juki kami tinggal di gubug. Kami dibawa ke tepi sungai. Teman pertama yang kami jumpai adalah Hary Suryoharyono, komandan regu saya yang terbaring di sisi Utara sungai. Tubuhnya utuh dan sangat tampan-atletis seperti orang tengah tidur saja. Luka di kepalanya menembus telinga kiri. Kepada penduduk, saya katakan bahwa yang gugur itu adalah calon pemimpin bangsa. Oleh karena itu, saya minta agar mereka membawa jenasah Hary ke Karanganyar sebagai markas komando terdekat. Tak jauh dari tempat Hary, kami menemukan jenasah Willy Hutaoeroek dari Perpis dalam posisi tertelungkup. Linus yang Katholik membawa tasbih rosario berjongkok dan berdoa sejenak. Informasi terakhir yang saya tahu, jenasah Hary dibawa ke Kebumen. Sementara itu, jenasah Willy Hotaoeroek dimakamkan di desa Bumirejo.
Kemudian kami dibawa ke sebuah lumbung padi yang agak jauh dari sungai. Di sana ada Alex Rumamby dari Perpis yang terluka di bagian perutnya. Linus naik ke lumbung memberi penghiburan dan semangat agar Alex bertahan dan akan segera mengurus proses evakuasi serta pengobatannya. Kami juga meminta kepada penduduk desa itu untuk membawanya ke Karanganyar. Selain itu, penduduk juga menemukan seorang rekan yang dalam posisi telungkup di sawah. Mereka membangunkan dengan mengatakan bahwa Belanda telah pergi serta memberi sarung untuk ganti pakaian yang dikenakannya. Teman kami disembunyikan karena wajahnya sembab diinjak-injak oleh serdadu Belanda yang menyangkanya telah tewas. Semula saya tak tahu siapa teman kami itu, Baru keesokan harinya saya mengenalnya. Ia sahabat karib dan teman sebangku, Imam Sukotjo.
Setelah tak ada hal penting lagi yang perlu diurus dan waktu sudah sekitar jam 2 siang, kami memutuskan untuk menujua Karanganyar bergabung dengan induk pasukan. Untuk itu ada beberapa masalah yang perlu kami pecahkan, Kami tak memiliki informasi apapun tentang keberadaan pasukan Belanda di daerah pertempuran di sepanjang jalan yang akan kami lewati sehingga kami dapat menjaga jembatan atau check point tertentu. Berikutnya adalah masalah baju hijau yang kami pakai serta potongan rambut yang tidak plontos seperti kebanyakan penduduk setempat tentu akan memudahkan serdadu Belanda mengenali kami sebagai pejuang/ Tentara Pelajar. Kedua masalah ini cukup mudah diatasi. Baju masuk tas dan rambut dicukur plontos.
Tapi ada hal lain yang merisaukan yaitu keberadaan laskar AOI yang kami tahu sering meminta senjata pasukan yang tengah mundur dari medan pertempuran yang ada di lini kedua. Senjata adalah nyawa cadangan, menyerahkan senjata berarti sama dengan menyerahkan nyawa. Akhirnya kami putuskan untuk meninggalkan juki dan mempercayakannya kepada penduduk setempat. Dengan janji kami akan kembali secepat mungkin mengambil senjata itu. Atas keputusam itu, kami segera meninggalan Desa Bumirejo menuju markas induk di Karanganyar lewat Desa Sugihwaras melalui jalur sungai melawan arus ke Timur dengan cara berjalan jongkok. Mendekati jembatan, kami mempelajari situasi untuk memastikan ada tidaknya pasukan Belanda. Ternyata kosong dan kami bersiap diri melewati daerah yang dikuasai AOI sekitar 300m di depan kami.
Benar saja dugaan kami, ada sekitar 300 anggota laskar AOI yang telah mengetahui keberadaan kami. Senjata mereka berupa senapan dan panah yang anak panahnya berdetonator. Sesampai di tempat mereka berjaga, kami segera naik (di sisi Utara) dan lagi-lagi semua gerakan kami sang pemimpin adalah Linus. Ia lalu menjelaskan peristiwa yang kami alami dalam bahasa Jawa ngoko. Saya sesekali menambahkan penjelasan dalam Bahasa Jawa madya. Seperti telah kami duga, pertanyaan mereka adalah tentang senjata kami. Kami jelaskan bahwa semua senjata dibuang di medan pertempuran karena macet atau habis peluru. Entah diterima atau tidak penjelasan itu, kami akhirnya dibawa ke markas mereka di sebuah masjid yang berjarak sekitar 100m dari posisi saat ini. Di sana kami disuruh beristirahat dan diberi nasi bungkus. Kebanyakan tidak kami makan karena tiada lagi nafsu makan.
Waktu itu sudah memasuki waktu shalat Ashar. Kami ingin sesegera mungkin menuju Karanganyar ke markas induk. Kebetulan di situ ada kurir yang bergerak menunggang kuda. Kurir itu rupanya habis menyelesaikan tugasnya dan akan kembali bertugas ke Utara. Tak lama berselang, kami diijinkan meneruskan perjalanan dengan bertelanjang dada, tanpa alas kaki dan hanya bercelana pendek. Rasanya kami telah berjalan cukup jauh tanpa was-was bertemu pasukan Belanda karena sudah mencapai daerah aman. Sekitar jam 5 sore di kejauhan kami melihat sekelompok orang berkerumun seakan menantikan kedatangan kami. Benar saja, setelah mendekat ternyata mereka adalah teman-teman kami yang mundur melalui sisi Utara dan Timur. Bukan main rasa sukacita kami bertemu dalam keadaan selamat. Kami saling merangkul dan mengucap syukur. Setelah beberapa saat, kami melanjutkan perjalan di kegelapan malam. Sekitar jam 8 malam, kami tiba di markas yang letaknya di sebelah Timur alun-alun Karanganyar. Sebagian diantara kami langsung mencari tempat untuk beristirahat. Sebagian lainnya jalan jalan di sekitar markas dan minum kopi serta makan makanan kecil.
Tak diduga, di warung itu saya bertemu Komanda Kompi Saroso Hoerip dan beberapa stafnya. Kami saling menyapa dan diminta bercerita tentang pertistiwa yang kami alami. Saya juga melaporkan keberadaan juki yang ditinggal dan dipercayakan kepada penduduk Desa Bumirejo. Secara ringkas kami melaporkan semua kejadian. Atas hal itu, komandan memberi pujian. Di akhir percakapan kami, komandan kompi memerintahkan kami untuk menyertai regu yang akan dikirim untuk mengambil jenasah dan khusus bagi bagi perintah memandu pengambilan juki. Perintah itu saya terima dengan ihlas. Saya sadar bahwa upaya penyelamatan senjata juki adalah kebanggaan kompi kami dan merupakan sebuah tugas penting.  

Mengambil Jenasah dan Menyelamatan (Senapan) Juki

Keesokan hari, tanggal 3 September 1947, sekitar puku 5.30 pagi diberangkatkan satu regu dari markas induk Karanganyar untuk mengambil jenasah dan senapan juki yang kami tinggalkan di Bumirejo sehari sebelumnya. Regu ini terdiri dari 10 orang, sebagian besar adalah teman-teman yang kami gantikan tugasnya di Desa Sugihwaras. Satu diantaranya adalah Wiratno. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan Alex Rumambi yang diangkut dengan usungan bambu oleh beberapa penduduk Desa Bumirejo. Kami sempat diberitahu bahwa semua jenasah yang ada di sana telah dibawa ke Kebumen.
Setelah beristia\rahat sejenak di Desa Sugihwaras, regu ini dibagi dua. Oleh kepala regu saya diperintahkan ke Selatan menuju Desa Bumirejo bersama 4 orang teman. Tugas utama adalah menyelamatkan juki dan senjata-senjata lainnya. Kelompok lain menuju Desa Sidobunder untuk menolong korban pertempuran dan mengambil jenasah rekan-rekan yang gugur di sana. Sekitar jam 11 kami berangkat ke Bumirejo yang ternyata hanya berjarak 3 km dari Sugihwaras. Sampai di tujuan, suasana desa cukup sepi. Ada beberapa penduduk yang dapat kami tanyai tentang keberadaan juki yang kami titipkan kepada mereka. Mereka menjawab, bahwa semua senjata disimpan dengan baik. Juga teman kami yang wajahnya diinjak serdadu Belanda ( Imam Sukoco-pen)  telah dipindahkan ke garis belakang. Saya menyampaikan terima kasih kepada mereka yang telah dengan tulus memenuhi permintaan kami sehari sebelumnya.
Pada kesempatan itu, kami juga diajak melihat beberapa korban meninggal dan luka dari penduduk Desa Bumirejo. Seorang korban luka adalah gadis kecil yang mengalami luka lebar di bagian paha dan selalu mengerang kesakitan. Kebetulan, seorang anggota regu kami membawa obat. Ia segera memberi pertolongan dan membalut luka sang gadis kecil. Tak lupa ia menyarankan agar gadis ini segera dibawa ke RS Karanganyar untuk mendapatkan perawatan selanjutnya. Setelah menerima kembali juki dan karaben yang saya titipkan kepada penduduk serta menerima penyerahan sekitar 200 butir peluru Lee Enfield yang ditinggalkan serdadu Belanda di sebuah rumpun bambu serta memastikan bahwa semua korban dari TP telah ditangani dengan baik, kami pamit dan segera kembali ke Sugihwaras dengan perasaan lega karena tugas dapat dilaksanakan dengan baik.
Kami tiba di Sugihwaras sekitar pukul 2 siang dan menunggu kedatangan rombongan yang ditugaskan ke Sidobunder.  Hampir dua jam kemudian terdengar suara mereka bersama pak Lurah dan penduduk desa. Ternyata mereka membawa jenasah teman-teman kami yang diangkut dengan perahu-perahu kecil berisi 3 – 4  jenasah setiap perahu. Saya mengenali jenasah anggota TP. Ada juga 2 jenasah anggota TNI reguler. Rekan kami, Ridwan, terkena 3 tembakan di leher yang menembus ke rongga dada. Hapto yang beru berumur 14 tahun dan sering bersama saya berjaga di markas Wates terluka bacokan di wajah sekitar daerah hidung. Saya sangat mengenali jenasah Pramono, Djokopramono, Soegiyono, Poernomo dan kalau tidak salah ada juga jenasah Achmadi. Hanya itu yang dapat ditemukan (yang dibawa ke Kebumen dari Bumirejo hanya jenasah Soerjoharyono, sehingga jenasah Willy Hutaoeroek tetap dimakamkan di Bumirejo. Di kemudian hari juga diketahui bahwa Herman Fernandez ditangkap dan dihukum mati oleh Belanda. Mungkin ada teman lain yang tertangkap, nyatanya sampai kini tak ada yang kembali).
Pak Lurah memerintahkan warganya agar segera membuat usungan dari bambu yang banyak tumbuh di desa itu. Setiap usungan hanya  diisi dengan satu jenasah, ditutup daun pisang dan diikat dengan tali bambu. Setelah semua siap, semua jenasah segera dibawa ke Karanganyar. Kesediaan penduduk desa membantu kami mengurus dan mengusung jenasan teman-teman yang gugur secara ihlas sangat kami rasakan. Meski, karena faktor usia, saya belum mampu menangkap makna dari peristiwa itu, tapi saya dapat merasakan kebanggaan atas bantuan penduduk desa yang tanpa pamrih itu.
Perjalanan dari Sugihwaras ke Karanganyar dimulai sekitar jam 5 sore dan dalam menembus kegelapan malam kami menggunakan obor yang disediakan oleh penduduk setempat. Karena jarak cukup jauh, perjalanan jenasah itu dilakukan secara estafet oleh penduduk desa-desa di sepanjang jalan yang kami lewati. Dua jenasah TNI reguler dibawa ke markas induknya, bukan ke Karanganyar. Sekitar jam 8 malam lewat, rombongan pembawa jenasah akhirnya sampai di Karanganyar dan langsung dibawa ke rumah sakit. Diterangi beberapa batang lilin, jenasah-jenasah itu disemayamkan di salah satu bangsal rumah sakit. Di situ telah menunggu beberapa teman yang selamat dalam pertempuran, seorang di antaranya adalah Rinanto sahabat karib saya. Saya mendapat perintah untuk ikut mengiringi jenasah yang akan dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api.
Setelah makan nasi bungkus di kompleks rumah sakit, mandi ala kadarnya dan mengambil tas pakaian di asrama markas induk, saya segera kembali ke rumah sakit. Semua jenasah kemudian dibawa ke stasiun dan ditempatkan di gerbong khusus. Sekitar jam 10 malam kami berangkat ke Yogyakarta dalam temaram cahaya lilin. Kereta berhenti di stasiun Kebumen untuk mengangkut anggota seki Anggoro yang akan diistirahatkan di sana. Dan jenasah Soejoharyono yang sudah menunggu di situ bersama rombongan akhirnya disatukan dengan jenasah lain dalam gerbong khusus. Kereta berhenti agak lama dan saya menyempatkan diri menengok asrama kami di gereja protestan (GKJ-pen) itu.
Kereta api diberangkatkan dari Kebumen antara jam 11 – 12 malam. Malam yang sepi dan hening membuat banyak rekan kami tertidur. Saya tak dapat tidur, dan sesekali menuju gerbong jenasah yang tanpa rasa takut karena mereka adalah rekan-rekan seperjuangan yang ditakdirkan gugur mendului kami. Sekitar jam 4 pagi kereta sampai di stasiun Tugu. Sementara menunggu jemputan yang akan membawa kami ke Jetis (asrama SGA), datang perintah kepasa saya agar mengiringi jenasah ke RS Bethesda untuk membantu dan mengenali para jenasah. Memang benar bahwa patugas penerima jenasah belum tentu mengenali para korban pertempuran Sidobunder dan sayalah yang dianggap lebih tahu ciri-ciri mereka.
Tugas di RD Bethesda dapat saya laksanakan dengan baik di antaranya membantu kakak Djoko Pramono mengenali jenasah adiknya. Beliau menangis setelah membuka daun pisah yang menutupi tubuh jenasah adiknya. Jam 6 pagi saya ikut kendaraan menuju asrama SGA di Jetis untuk bergabung dengan rekan-rekan. Sekitar jam 9 pagi ada pengumuman yang membolehkan kami pulang ke rumah masing-masing dan diberi cuti selama 2 minggu. Bersama Sarbidu yang terhitung sebagai paman Soehapto yang gugur dan dua teman lain, kami naik delman ke Pakualaman tempat kami tinggal. Sampai di rumah sekitar jam 10. Berita kedatangan saya yang dikabarkan selamat  ternyata sudah beredar di sana. Puji syukur dan perasaan sukacita memenuhi anggota keluarga saya. Kepada ibu, perasaan haru saya tumpahkandan saya dirangkul beliau sambil menangis. Saya membayangkan betapa akan sedihnya ibu bila saya termasuk yang gugur mengingat betapa beratnya beliau melepaskan saya waktu pamit ke front.
Tanggal 4 September 1947 sore dikitar jam 3 dilakukan pemakaman jenasah yang diberangkatkan dari Gedung BPKKP menuju tempat peristirahatan terakhir di Makam Taman Bahagia Semaki Yogyakarta dengan perhatian penuh warga masyarakat Ibukota Yogyakarta, khususnya para pelajar. Puluhan karangan bunga sebagai tanda bela sungkawa masyarakat menyertai iringan jenasah yang diangkut dengan beberapa truk terbuka dan dijaga rekan-rekan seperjuangannya. Sengan tembakan salvo, teman-teman yang gugur dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki. Jenasah SoerjoHaryono, atas permintaan keluarganya, dimakamkan di Kuncen.
Dalam buku “Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan” yang disinggung di awal tulisan ini disebutkan 24 anggota TP gugur pada pertempuran Sidobunder, tetapi hanya 20 nama yang tertulis dalam buku itu. Yaitu:
1.       Abunandir
2.       Herman Fernandez
3.      Poernomo
4.      Soepadi
5.      Achmadi
6.      Kodara Sam
7.      Pramono
8.      Soerjoharyono
9.      Ben Rumayar
10.   Koenarso
11.    Ridwan
12.    Tadjoedin
13.   Djoko Pramono
14.   La Indi
15.   Soegiyono
16.   Willy Hutaoeroek
17.   Harun
18.   Losung F
19.   Soehapto
20.  Rinanggar
  
Adapun yang selamat, seingat saya 12 orang yaitu:
Sarbidu
Djokonomo
Anggoro
Alex Rumambi
Santoso
Kusdradjat
Imam Soekotjo
Linus Djentamat
Rinanto
Sujitno
Maulwi Saelan
Djokowoerjo

Penutup
Di antara kawan-kawan untuk waktu lama saya mendapat julukan si penyelamat juki. Julukan itu rasanya terlalu berlebihan. Saya meyadari bahwa memang ada peranan saya, tapi sebenarnya sebatas pelengkap (instrumental) saja. Bukankah ide penyelamatan itu berawal dari Linus yang dapat menangkap situasi dan melihat jauh ke depan. Bahwasanya kemudian saya yang mendapat tugas untuk mengambilnya dari bekas lokasi pertempuran tidak lebih hanya karena sayalah yang dianggap mengetahui di mana senjata itu berada. Juki itu kemudian diperbaiki di Yogya dan kabarnya dapat berfungsi lagi.
Dari pengalaman ini ada 2 hal yang membekas di hati sanubari saya yaitu semangat perjuangan kawan-kawan yang sanggup mati untuk membela tanah air dan partisipasi aktif rakyat secara spontan tanpa pamrih dalam perjuangan membela kemerdekaan. Dalam perjalanan hidup saya kemudian, kesan ini senantiasa saya ingat dalam meniti karir hidup saya. Saya mengemban cita-cita kawan-kawan yang gugur, cita-cita generasi muda terpelajar yang setinggi langit memimpikan kejayaan tanah air. Semangat kawan-kawan coba saya bawa meniti karir saya. Mereka saya kenang dalam doa harian saya melambungkan puji syukur kepada Allah Yang Maharahim. Darma bakti kami kepada nusa dan bangsa. Semoga ini memenuhi cita-cita kawan-kawan yang yelah mendahuli menghadap Yang Maha Kudus di surga.
Bogor, Agustus – September 1995     
Biografi ringkas penulis:
·         Prof.Dr.drh. Djokowoerjo Sastradipraja adalah pelajar SMA Kotabaru (padmanaba) yang pernah mengenyam latihan dasar kemiliteran di MA Kotabaru saat bergabung dalam pasukan pelajar pejuang kemerdekaan dari Yogyakarta. Front Barat di sekitar Gombong bagian Selatan adalah penugasan pertama di luar Yogyakarta dan sekitarnya bersama sejumlah besar pasukan pelajar yang dikerahkan dari Markas Pusat di Tugu Kulon pada akhir Agustus sampai awal September 1947. Mengaku ikut singgah dan bermalam di asrama markas darurat pelajar pejuang kemerdekaan di kompleks GKJ Kebumen sebelum diberangkatkan ke medan laga.
·         Dosen, guru besar serta mantan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.  

·         Anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Diberdayakan oleh Blogger.