Tidak akan pernah ada yang mudah
dalam kehidupan ini jika senantiasa dibuat sulit. Atau sebaliknya, tidak ada sesuatu yang
sulit jika dilakukan dengan penuh kesederhanaan. Mengabdi pada kehidupan adalah kewajiban semua manusia beradab. Berburu bagi
kematian adalah tindakan biadab. Pendidikan adalah bagian utama pengabdian pada
kehidupan manusia beradab. Pengertian inilah yang saya pahami dari pergulatan
hidup sepanjang usia dewasa.
Pendidikan bukan saja memindahkan
pengetahuan atau sering disebut dengan istilah transfer ilmu dari pendidik kepada pesertanya. Lebih dari itu,
pendidikan adalah suatu proses memaknai nilai-nilai kehidupan manusia beradab.
Melalui pendidikan, manusia saling berinteraksi dalam kesetaraan derajat.
Dengan bekal pengalaman, pendidik menyampaikan pengetahuan yang pernah ia
dapatkan di lingkungan formal maupun dalam pergaulan hidupnya. Boleh jadi,
pemahaman ini yang dimaksudkan dalam pengertian pendidikan dengan sentuhan hati atau pendidikan yang menyertakan
budi pekerti.
Pendidikan berbasis kesetaraan (peer education) jika dimaknai secara
luas dan dalam, akan mendorong peserta didik memahami diri dan lingkungannya.
Untuk memahami dirinya, sesorang tak harus belajar secara khusus di sekolah
kepribadian. Dan agar mengetahui dengan jelas keadaan lingkungan, pelibatan
sosial adalah cara terbaik memasukkan nilai-nilai keadaban atau budi pekerti.
Pendidik, peserta didik dan masyarakat saling berinteraksi dalam satu kegiatan
yang suasananya dapat disiapkan (by
design). Jika diperluan penilaian, pendidik dapat menyediakan suatu daftar
yang berisi beragam unsur terurai seperti halnya sebuah urutan perguliran acara
(run down). Dalam hal ini, pendidik
akan bertindak selaku sutradara, penulis skenario dan pemegang peran tertentu.
Tidak sulit, cukup dengan belajar dan terus berlatih.
Ada satu fenomena yang cukup
menarik tengah terjadi di dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini setelah
ditutupnya sekolah atau perguruan tinggi dengan kekhususan pendidikan. Setelah
penutupan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) pada dasawarsa 1980 – 1990, menyusul
IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) pada dasawarsa berikutnya. Konon,
banyak orang yang berprofesi guru atau dosen adalah jalur pelarian yang menampung sisa-sisa siswa atau
mahasiswa yang tak laku di jurusan atau profesi lain. Barangkali, hal ini
akan menjadi bahan perbincangan menarik.
0 komentar:
Posting Komentar