Oleh: Toto Karyanto
Tulisan ini telah dimuat di sini.
Teringat tulisan Bapak Prajudi
Atmosudirjo dalam buku Pengambilan
Keputusan, orang Indonesia sering beranggapan bahwa keluhan dan kesulitan
adalah masalah. Dalam konsep manajemen, suatu hal termasuk kategori masalah
jika tujuannya jelas. Dengan pemahaman terakhir, masalah dalam dunia pendidikan
di lingkungan SMA Masehi Kebumen adalah faktor penyelenggaraan proses belajar
mengajar yang sesuai dengan visi, misi dan aturan internal lembaga dikaitkan
dengan visi dan misi pembangunan bidang pendidikan nasional. Dari komentar teman alumni pada tulisan (coba) memahami realita, selain prihatin
dan peduli juga diperlukan pemahaman
faktor internal dan eksternal atas masalah yang tengah dihadapi oleh
almamaternya.
Dari beberapa kesempatan
interaktif dengan kepala sekolah dan para guru yang saya anggap cukup tahu
perjalanan terakhir proses penyelenggaraan kelembagaan di sekolah ini, saya
menangkap kesan bahwa memang ada masalah. Besar atau kecil, luas atau sempit,
dalam atau dangkal itu adalah bagian dari kajian atau penelitian yang memang
sangat diperlukan untuk menemukan kadar dan cakupan masalah. Yang jelas, semangat
dan upaya memelihara kehidupan di lembaga yang dikelola Yayasan
Pendidikan Kristen “WIDHI DHARMA” Kebumen ini tetap terpelihara dengan segala
keterbatasan.
Dalam satu
tulisan, ekonom Faisal Basri, mengangkat satu topik yang sangat menarik
perhatian saya. Judulnya sesat pikir pendidikan ini mengurai
singkat masalah utama pilihan strategi pembangunan bidang kependidikan yang
saat ini bertumpu pada input agar
diubah menjadi pendekatan berdasar output. Dijelaskan bahwa yang
kerap jadi perbincangan adalah gaji guru, gedung sekolah rusak, dan kurikulum.
Betul kita serba kekurangan atau jauh dari memadai dalam hampir segala hal.
Segala hal di sini terkait dengan input
pendidikan.
Sebagai
orang baru di dunia yang menyangkut martabat manusia di sebuah negara-bangsa
ini, banyak hal yang harus sejak awal dipahami sebelum melangkah lebih jauh. Masih
berkait dengan tulisan di atas, saya berusaha memahami pola pikir Bang Faisal
Basri (sebutan yang biasa saya kemukakan ketika berinteraksi dengan belliau).
Dalam kerangka pikir yang kurang lebih sama, bahwa mengacu pada tujuan utama
kemerdekaan bangsa Indonesia yang relevan dengan penentuan (pilihan) strategi
pembangunan bidang kependidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa,
maka ada baiknya merombak total pendekatan pendidikan.
Tetapkan dahulu output yang hendak dicapai dan output
tersebut terukur. Lazimnya, output pendidikan diukur dari reading literacy
rate, scientific literacy rate, mathematical literacy rate, dan kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Data berikut tak memuat yang
keempat. Pendekatan
output menempatkan keluarga sebagai faktor yang sangat penting dalam proses
pendidikan. Selain itu adalah innate ability dan peers. Yang terakhir adalah school
inputs. Secara
sederhana, rumusannya adalah sebagai berikut:
Education = f (family, peers, school inputs, innate ability )
Sejauh ini kita berkutat pada school inputs.
Mengacu pada rumus di atas, pendidikan adalah
faktor fungsional dari keluarga, teman
sebaya (peers), beragam input sekolah dan kemampuan bawaan (innate ability). Khusus untuk segi input
sekolah, untuk tulisan ini, tidak termasuk dalam kategori masalah dan akan
menjadi bagian yang mungkin merupakan topik khusus di kesempatan lain.
Ringkasnya, ada tiga aspek yang akan
coba diurai pada bagian awal dari serangkaian tulisan berkaitan dengan masalah
yang tengah dihadapi oleh SMA Masehi Kebumen saat ini. Yakni faktor keluarga,
rekan sebaya dan kemampuan bawaan peserta didik.
Seperti kita
tahu, keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat dan bangsa. Pendidikan
dalam keluarga sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat secara umum. Jika
dalam keluarga itu senantiasa dihadirkan suasana demokratis misalnya, anggota
keluarga akan melakukan hal sama di lingkungannya. Hal ini bukan saja pendapat
pribadi saya, tapi banyak tulisan yang bersumber dari penelitian
mengungkapkannya secara ilmiah dan rinci. Dengan kata lain, suasana pendidikan
di dalam keluarga adalah cermin keadaan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Pada satu
paparan, Timothy Wibowo menyuguhkan satu pandangan psikologis yang menurutnya mengejutkan dan
menyakitkan yakni
kecenderungan penurunan usia psikologis manusia Indonesia berusia 21 tahun
dengan perilaku seperti anak usia 11 atau 12 tahun berdasakan perbandingan
antara tahun 2001 dan 2011. Dalam satu dasawarsa saja, usia kedewasaan, usia
kelayakan dan kepantasan banyak orang Indonesia di awal usia dewasanya berperilaku
layaknya anak-anak yang baru memasuki usia akil balik. Penurunan kondisi
psikologis ini sebenarnya mudah kita tangkap dari keseharian saat berinteraksi
dengan mereka. Sikap manja, suka menuntut,ngambek dan beragam perilaku kekanakan
lainnya banyak dikeluhkan para orang tua. Sementara itu, tidak sedikit pula
orang tua yang bersikap serupa. Boleh jadi hal ini seperti pepatah buruk
muka cermin dibelah. Senantiasa menyalahkan orang atau keadaan
lainnya.
Mengurai peran keluarga dalam proses pembangunan
pendidikan nasional tidak cukup dengan pembahasan satu dua lembar tulisan.
Terlalu banyak hal yang saling berpengaruh dan perlu kajian mendalam. Hal
penting yang ingin saya kemukakan dalam tulisan ini adalah faktor (pendidikan
dalam) keluarga berdampak sangat luas dan dalam bagi upaya penyelenggaraan
pendidikan nasional yang mampu mewujudkan karakter bangsa Indonesia yang pada
dasarnya ramah, pantang menyerah dan mengutamakan kebersamaan(gotong
royong). Banyak kajian sejarah dan psikologis yang menguatkan karakteristik itu
0 komentar:
Posting Komentar