Jumat, 21 Februari 2014

Citra Pendidikan Indonesia (1)

Bagaimana citra pendidikan Indonesia dewasa ini? Singkatnya bagi banyak orang di dalam dan luar dunia pendidikan Indonesia menampilkan citra tidak begitu jelas, galau, dan bahkan kacau. Pada tingkat internasional, jika orang yang cukup well-informed ditanya tentang pendidikan Indonesia, hampir bisa dipastikan ia nyaris tidak punya jawaban instan. Sebaliknya jika diajukan pertanyaan tentang pendidikan di negara Asia lain, ia bisa menyatakan sesuatu tentang pendidikan di Jepang, Korea Selatan, China atau Singapura.



Kesan seperti ini diungkapkan pengantar Daniel Suryadarma dan Gavin W. Jones (editor) dalam buku Education in Indonesia (2013). Meski merupakan kumpulan artikel yang semula disampaikan pada ‘Indonesia Update Conference’ yang diselenggarakan Australian National University (ANU) Canberra setiap tahun, buku ini memberikan gambaran cukup komprehensif tentang kondisi dan perkembangan pendidikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tidak banyak tersedia karya mutakhir tentang pendidikan Indonesia yang dapat dinikmati pembaca internasional.



Education in Indonesia mencakup pembahasan tentang berbagai aspek pendidikan di negeri ini. Diskusi bermula dari kecenderungan umum pendidikan Indonesia; pendidikan anak usia dini (PAUD); pendidikan dasar dan menengah; ‘integrasi’ madrasah ke dalam sistem pendidikan umum; pendidikan tinggi dengan pertumbuhan universitas dan gagasan world-class university, peningkatan pendanaan yang belum mampu meningkatkan kualitas; penyiapan atau peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan lain; sampai kepada kesenjangan pendidikan dengan ketrampilan yang diperlukan dalam lapangan kerja.



Secara umum, citra dan realitas pendidikan Indonesia belum menampilkan gambaran menyenangkan. Sebaliknya, karena banyaknya masalah yang dihadapi—dengan gambaran ‘lingkaran setan’, berbagai aspek pendidikan Indonesia mengandung banyak tantangan yang sangat mendesak untuk segera dibenahi.

Ilustrasi 1.
 
Ilustrasi 2.






Lihatlah pada tingkat pendidikan dasar. Seperti diungkapkan Suryadarma dan Jones, berkat ‘rejeki nomplok’ (windfall) dari minyak pada 1970an, terjadi peningkatan dramatis jumlah anak yang masuk pendidikan dasar, sehingga diharapkan Indonesia sudah mencapai ‘pendidikan dasar universal’ pada 1983. Tetapi masalahnya, bukan sekadar pernah sekolah, tetapi seberapa banyak murid yang berhasil menyelesaikan SD. Ternyata sampai awal 1990an hanya 66 persen anak yang bisa tamat SD dan 81 persen pada tahun ajaran 2007-8. Bisa dipastikan, prosentase ini tidak banyak meningkat setelah itu.



Agaknya pembaca setuju belaka dengan pernyataan kedua penyunting, adalah tragedi dalam dasawarsa kedua abad 21, masih sangat banyak anak Indonesia yang tak berhasil menamatkan pendidikan dasar. Walhasil ketika terpaksa bekerja untuk menyambung hidup, mereka mengalami ‘butahuruf fungsional’ (functional illiteracy) yang membuat kian terpuruknya tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia.



Jelas selain tingkat putus sekolah yang masih tinggi, publik Indonesia sudah tahu sejak lama, mutu pendidikan dasar Indonesia masih sangat rendah. Hal ini disebabkan bukan hanya karena banyak guru berkualitas seadanya—meski ada sertifikasi dengan tunjangan khusus—tetapi juga karena fasilitas yang jauh daripada memadai. Bahkan fasilitas paling dasar seperti gedung atau ruang kelas banyak yang menunggu ambruk—mengancam keselamatan anak mungil.



Tak kurang dramatisnya, seperti dilaporkan Suharti dalam buku yang sama, jumlah sekolah tingkat pendidikan dasar justru merosot tajam sepanjang 1996 sampai 2005—dari sekitar 181 ribu menjadi 165 ribu. Memang penurunan jumlah sekolah disebabkan bergabungnya beberapa sekolah berdekatan. Selain itu, juga karena keberhasilan KB mengurangi jumlah usia anak sekolah. Tetapi dengan pertumbuhan penduduk yang hampir tidak terkendali sejak masa pasca-Soeharto karena marjinalisasi BKKBN jelas terjadi lonjakan jumlah anak usia sekolah.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.