Sabtu, 05 Oktober 2013

Kecil Itu Indah

Suasana kelas XII

Kehidupan ini dapat diibaratkan sebuah ladang yang harus digarap dengan segenap daya dan kesungguhan hati. Ada yang subur, kering, liat dan gersang. Lahan subur menjadi dambaan banyak orang karena dianggap penggarapannya relatif mudah dan hasilnya dapat segera dinikmati. Berbeda dari lahan kering yang memerlukan penanganan awal sampai akhir dengan beragam tantangan dan kendala. Dan akan lebih sulit ketika hak itu dilakukan di lahan yang liat. Catatan ini terinspirasi dari tulisan saudara Ngainun Naim, dosen STAIN Tulungagung yang telah menerbitkan buku berjudul “Menjadi Guru Inspiratif”. 

Yang menarik perhatian saya adalah kalimat: “guru inspiratif adalah guru yang tidak hanya mengajar saja, tetapi juga mampu memberikan pengaruh ke dalam jiwa siswanya, dan lebih jauh, mampu merubah kehidupan para siswanya”. Dalam pemahaman yang saya ketahui selama ini, mengajar itu melakukan proses belajar dan mengajar sebagaimana biasa dilakukan oleh semua guru. Menyiapkan materi dan memberikannya di depan kelas. Mungkin ada bagian administratif yang terdapat pada proses itu, terutama untuk memenuhi kewajiban formal yang telah digariskan oleh lembaga penyelenggara pendidikan. Meminjam istilah dosen tadi, pemahaman ini adalah untuk kategori guru kurikulum yang merupakan bagian terbesar dari kelompok manusia Indonesia yang acapkali dinyatakan berlebih dengan sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” ini.
***

Saat menerima pemberitahuan lewat telepon istri, saya sempat bertanya. Mengapa...? Ada situasi apakah yang mendorong gagasan atau upaya memanggil kembali  saya untuk mengabdi kepada almamater setelah tertunda lebih dari tiga tahun sebagai guru? Sementara itu, mereka : kepala sekolah, para guru, pelaksana administrasi dan teman-teman alumni cukup memahami karakter dan situasi saya. Di tengah suasana yang menggelantung bimbang, saya berniat dan mewujudkannya dalam perbuatan untuk memohon tambahan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa lewat shalat istikharah. Diantara banyak doa, suara hati berkata lirih “... ambil kesempatan itu dan gunakan segenap daya agar jelas arah...”

Dua kata kunci itu: ambil kesempatan dan  jelas arah. Kesempatan yang saya dapatkan saat ini adalah merasakan langsung suasana yang ada di dalam lingkungan almamater, SMA Masehi Kebumen yang kondisinya dari luar nampak kusam dan memprihatinkan. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir sebagian fasilitasnya disewakan kepada pihak penyelenggara pendidikan lain. Yaitu Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Semarang dan dua atau tiga tahun terakhir disewakan kepada Politeknik Dharma Patria yang punya afiliasi dengan satu penerbit buku di Bandung sampai akhir April 2014. Kesempatan yang mungkin saja tak akan ada lagi jika sekolah ini ditutup dengan berbagai alasan. 

Kata kunci ke dua adalah jelas arah. Dalam pemahaman saya yang mungkin saja sangat dangkal, kehidupan ini dapat diibaratkan sebagai suatu proses perjalanan yang di dalamnya terdapat banyak  jalan (pilihan), moda (alat), rambu-rambu (aturan) dan beragama jenis serta latar belakang kehidupan manusia yang melakukan perjalanan itu. Dengan arah yang jelas, proses perjalanan itu akan menjadi semakin mudah untuk dilakukan dan risiko yang mungkin dihadapi juga akan cukup terukur. Tidak ada pertaruhan atau pengorbanan yang sia-sia.

Sekadar illustrasi, di masa saya menempuh pendidikan menengah di sekolah itu, suasananya sangat jauh berbeda dari saat ini. Jumlah muridnya sangat banyak karena rata-rata setiap kelas diisi oleh 50 siswa. Dan setiap jenjang maupun jurusan sedikitnya ada 2 kelas. Dengan perkiraan kasar tersebut, sekolah yang letaknya di tengah kota dan di depan icon Kebumen, Tugu Lawet, SMA Masehi Kebumen di tahun-tahun 1980-an menyelenggarakan proses belajar mengajar bagi sedikitnya 600 siswa { 3 jenjang ( kelas 1 - 3) x 2 jurusan ( IPA dan IPS) x 2 (kelas dalam setiap jurusan) x 50 (jumlah rata-rata siswa setiap kelas)}. Asal siswa juga beragam, datang dari hampir seluruh wilayah kecamatan dan desa di Kabupaten Kebumen. Bahkan tidak sedikit yang berasal dari kabupaten lain terutama Purworejo, Banyumas dan Cilacap.

Situasi yang ada saat ini sangat berbeda, bahkan bisa disebut bertolak belakang. Jumlah siswa yang mengikuti proses belajar mengajar sama untuk dua kelas (XI dan XII) yang diselenggarakan yakni 5. Hanya ada satu jurusan, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Tidak ada kelas awal (X) dan diampu oleh 11 orang guru, seorang penyelenggara administrasi (Tata Usaha/TU) dan seorang tukang kebun atau penjaga sekolah. Artinya, secara kuantitatif terjadi kemunduran yang sangat drastis dibanding tahun 1980-an. Hal serupa juga terjadi dalam sisi kualitatif. Keadaan ini juga dirasakan oleh para siswa kelas XII yang saya minta pendapatnya melalui tulisan di bawah ini.

Secara garis besar, para siswa menggambarkan suasana yang mereka alami sepanjang mengikuti proses belajar mengajar sejak awal hingga kini dengan ungkapan keprihatinan. Ada yang menyebut kata kaget dan sedih ketika tahu jumlah teman satu kelas sangat sedikit dan dari keluarga yang secara sosial-ekonomi relatif biasa atau kekurangan. Demikian juga atas fasilitas sekolah yang sangat minimal. Meski begitu, semua menyatakan harapan dengan optimisme (semangat). Apakah ini merupakan ekspresi sesaat atau pemahaman yang lugas dari remaja menjelang dewasa sebagai akibat proses interaktif dengan saya. Atau ada alasan lain yang mendorong munculnya ungkap rasa seperti itu, yang jelas saya meminta mereka menulis dengan jujur dan tidak boleh saling mempengaruhi.
Sumber : catatantotokaryanto.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.