Bagaimana citra pendidikan Indonesia dewasa ini? Singkatnya
bagi banyak orang di dalam dan luar dunia pendidikan Indonesia menampilkan
citra tidak begitu jelas, galau, dan bahkan kacau. Pada tingkat internasional,
jika orang yang cukup well-informed ditanya tentang pendidikan Indonesia,
hampir bisa dipastikan ia nyaris tidak punya jawaban instan. Sebaliknya jika
diajukan pertanyaan tentang pendidikan di negara Asia lain, ia bisa menyatakan
sesuatu tentang pendidikan di Jepang, Korea Selatan, China atau Singapura.
Kesan seperti ini diungkapkan pengantar Daniel Suryadarma dan
Gavin W. Jones (editor) dalam buku Education in Indonesia (2013). Meski merupakan kumpulan
artikel yang semula disampaikan pada ‘Indonesia Update Conference’ yang
diselenggarakan Australian National University (ANU) Canberra setiap tahun,
buku ini memberikan gambaran cukup komprehensif tentang kondisi dan
perkembangan pendidikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tidak banyak
tersedia karya mutakhir tentang pendidikan Indonesia yang dapat dinikmati pembaca internasional.
Education in Indonesia mencakup pembahasan tentang berbagai aspek pendidikan di
negeri ini. Diskusi bermula dari kecenderungan umum pendidikan Indonesia;
pendidikan anak usia dini (PAUD); pendidikan dasar dan menengah; ‘integrasi’
madrasah ke dalam sistem pendidikan umum; pendidikan tinggi dengan pertumbuhan
universitas dan gagasan world-class university, peningkatan pendanaan yang
belum mampu meningkatkan kualitas; penyiapan atau peningkatan kualitas guru dan
tenaga kependidikan lain; sampai kepada kesenjangan pendidikan dengan
ketrampilan yang diperlukan dalam lapangan kerja.
Secara umum, citra dan realitas pendidikan Indonesia belum
menampilkan gambaran menyenangkan. Sebaliknya, karena banyaknya masalah yang
dihadapi—dengan gambaran ‘lingkaran setan’, berbagai aspek pendidikan Indonesia
mengandung banyak tantangan yang sangat mendesak untuk segera dibenahi.
Ilustrasi 1. |
Lihatlah pada tingkat pendidikan dasar. Seperti diungkapkan
Suryadarma dan Jones, berkat ‘rejeki nomplok’ (windfall) dari
minyak pada 1970an, terjadi peningkatan dramatis jumlah anak yang masuk
pendidikan dasar, sehingga diharapkan Indonesia sudah mencapai ‘pendidikan
dasar universal’ pada 1983. Tetapi masalahnya, bukan sekadar pernah sekolah,
tetapi seberapa banyak murid yang berhasil menyelesaikan SD. Ternyata sampai awal
1990an hanya 66 persen anak yang bisa tamat SD dan 81 persen pada tahun ajaran 2007-8. Bisa dipastikan,
prosentase ini tidak banyak meningkat setelah itu.
Agaknya pembaca setuju belaka dengan pernyataan kedua
penyunting, adalah tragedi dalam dasawarsa kedua abad 21, masih sangat banyak
anak Indonesia yang tak berhasil menamatkan pendidikan dasar. Walhasil ketika
terpaksa bekerja untuk menyambung hidup, mereka mengalami ‘butahuruf
fungsional’ (functional illiteracy) yang membuat kian terpuruknya tingkat produktivitas
tenaga kerja Indonesia.
Jelas selain tingkat putus sekolah yang masih tinggi, publik
Indonesia sudah tahu sejak lama, mutu pendidikan dasar Indonesia masih sangat
rendah. Hal ini disebabkan bukan hanya karena banyak guru berkualitas
seadanya—meski ada sertifikasi dengan tunjangan khusus—tetapi juga karena
fasilitas yang jauh daripada memadai. Bahkan fasilitas paling dasar seperti
gedung atau ruang kelas banyak yang menunggu ambruk—mengancam keselamatan anak
mungil.
Tak kurang dramatisnya, seperti dilaporkan Suharti dalam buku
yang sama, jumlah sekolah tingkat pendidikan dasar justru merosot tajam
sepanjang 1996 sampai 2005—dari sekitar 181 ribu menjadi 165 ribu. Memang
penurunan jumlah sekolah disebabkan bergabungnya beberapa sekolah berdekatan.
Selain itu, juga karena keberhasilan KB mengurangi jumlah usia anak sekolah.
Tetapi dengan pertumbuhan penduduk yang hampir tidak terkendali sejak masa
pasca-Soeharto karena marjinalisasi BKKBN jelas terjadi lonjakan jumlah anak usia sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar