Suasana kelas XII |
Kehidupan ini dapat diibaratkan
sebuah ladang yang harus digarap dengan segenap daya dan kesungguhan hati. Ada
yang subur, kering, liat dan gersang. Lahan subur menjadi dambaan banyak orang
karena dianggap penggarapannya relatif mudah dan hasilnya dapat segera
dinikmati. Berbeda dari lahan kering yang memerlukan penanganan awal
sampai akhir dengan beragam tantangan dan kendala. Dan akan lebih sulit ketika hak itu
dilakukan di lahan yang liat. Catatan ini terinspirasi dari tulisan saudara Ngainun Naim, dosen STAIN Tulungagung yang
telah menerbitkan buku berjudul “Menjadi Guru Inspiratif”.
Yang menarik perhatian
saya adalah kalimat: “guru inspiratif adalah guru yang tidak hanya mengajar
saja, tetapi juga mampu memberikan pengaruh ke dalam jiwa siswanya, dan lebih
jauh, mampu merubah kehidupan para siswanya”. Dalam pemahaman yang saya
ketahui selama ini, mengajar itu melakukan proses belajar dan mengajar
sebagaimana biasa dilakukan oleh semua guru. Menyiapkan materi dan
memberikannya di depan kelas. Mungkin ada bagian administratif yang terdapat
pada proses itu, terutama untuk memenuhi kewajiban formal yang telah digariskan
oleh lembaga penyelenggara pendidikan. Meminjam istilah dosen tadi, pemahaman
ini adalah untuk kategori guru kurikulum yang merupakan bagian terbesar dari
kelompok manusia Indonesia yang acapkali dinyatakan berlebih dengan sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” ini.
***
Saat menerima pemberitahuan lewat telepon
istri, saya sempat bertanya. Mengapa...? Ada situasi apakah yang mendorong
gagasan atau upaya memanggil kembali
saya untuk mengabdi kepada
almamater setelah tertunda lebih dari tiga tahun sebagai guru? Sementara
itu, mereka : kepala sekolah, para guru, pelaksana administrasi dan teman-teman
alumni cukup memahami karakter dan situasi saya. Di tengah suasana yang menggelantung bimbang, saya berniat dan mewujudkannya
dalam perbuatan untuk memohon tambahan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
lewat shalat istikharah. Diantara
banyak doa, suara hati berkata lirih “... ambil kesempatan itu dan gunakan segenap
daya agar jelas arah...”
Dua kata
kunci itu: ambil kesempatan dan jelas arah.
Kesempatan yang saya dapatkan saat ini adalah merasakan langsung suasana yang
ada di dalam lingkungan almamater, SMA Masehi Kebumen yang kondisinya dari luar nampak kusam
dan memprihatinkan. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir sebagian
fasilitasnya disewakan kepada pihak penyelenggara pendidikan lain. Yaitu
Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Semarang dan dua atau
tiga tahun terakhir disewakan kepada Politeknik Dharma Patria yang punya
afiliasi dengan satu penerbit buku di Bandung sampai akhir April 2014. Kesempatan yang mungkin saja tak akan ada
lagi jika sekolah ini ditutup dengan berbagai alasan.
Kata kunci ke dua adalah jelas
arah. Dalam pemahaman saya yang mungkin saja sangat dangkal, kehidupan
ini dapat diibaratkan sebagai suatu proses perjalanan yang di dalamnya terdapat
banyak jalan (pilihan), moda (alat), rambu-rambu (aturan) dan beragama
jenis serta latar belakang kehidupan manusia yang melakukan perjalanan itu.
Dengan arah yang jelas, proses perjalanan itu akan menjadi semakin mudah untuk
dilakukan dan risiko yang mungkin dihadapi juga akan cukup terukur. Tidak ada pertaruhan atau pengorbanan yang sia-sia.
Sekadar
illustrasi, di
masa saya menempuh pendidikan menengah di sekolah itu, suasananya sangat jauh
berbeda dari saat ini. Jumlah muridnya sangat banyak karena rata-rata setiap
kelas diisi oleh 50 siswa. Dan setiap jenjang maupun jurusan sedikitnya ada 2
kelas. Dengan perkiraan kasar tersebut, sekolah yang letaknya di tengah kota
dan di depan icon Kebumen, Tugu Lawet, SMA Masehi Kebumen di
tahun-tahun 1980-an menyelenggarakan proses belajar mengajar bagi sedikitnya
600 siswa { 3 jenjang ( kelas 1 - 3) x 2 jurusan ( IPA dan IPS) x 2 (kelas
dalam setiap jurusan) x 50 (jumlah rata-rata siswa setiap kelas)}. Asal siswa
juga beragam, datang dari hampir seluruh wilayah kecamatan dan desa di
Kabupaten Kebumen.
Bahkan tidak sedikit yang berasal dari kabupaten lain terutama Purworejo,
Banyumas dan Cilacap.
Situasi yang
ada saat ini sangat berbeda, bahkan bisa disebut bertolak belakang. Jumlah
siswa yang mengikuti proses belajar mengajar sama untuk dua kelas (XI dan XII)
yang diselenggarakan yakni 5. Hanya ada satu jurusan, Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS). Tidak ada kelas awal (X) dan diampu oleh 11 orang guru, seorang
penyelenggara administrasi (Tata Usaha/TU) dan seorang tukang kebun atau
penjaga sekolah. Artinya, secara kuantitatif terjadi kemunduran yang sangat
drastis dibanding tahun 1980-an. Hal serupa juga terjadi dalam sisi kualitatif.
Keadaan ini juga dirasakan oleh para siswa kelas XII yang saya minta
pendapatnya melalui tulisan di bawah ini.
Secara garis besar, para siswa menggambarkan
suasana yang mereka alami sepanjang mengikuti proses belajar mengajar sejak
awal hingga kini dengan ungkapan keprihatinan. Ada yang menyebut kata kaget dan
sedih ketika tahu jumlah teman satu kelas sangat sedikit dan dari keluarga yang
secara sosial-ekonomi relatif biasa atau kekurangan. Demikian juga atas
fasilitas sekolah yang sangat minimal. Meski begitu, semua menyatakan harapan
dengan optimisme (semangat). Apakah ini merupakan ekspresi sesaat atau
pemahaman yang lugas dari remaja menjelang dewasa sebagai akibat proses
interaktif dengan saya. Atau ada alasan lain yang mendorong munculnya ungkap
rasa seperti itu, yang jelas saya meminta mereka menulis dengan jujur dan tidak
boleh saling mempengaruhi.
Sumber : catatantotokaryanto.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar