Pada KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) – dalam jaringan, kata banyak mengandung dua arti. Sebagai kata
kerja, banyak itu mengembang-biakan, menambah nilai, memperhebat dan
lain-lain. Dan sebagai kata sifat yang menjelaskan hal-hal tentang jumlah yang
lebih dari satu sampai tak terhingga. Dari kata ini, kita akan tahu tentang
kualitas (mutu, kadar, isi) dan
kuantitas (angka, nilai, harga atau jumlah). Jika keduanya disandingkan atau digabungkan
akan muncul performa atau kinerja. Agar tidak meluas ke dalam perbincangan yang
tak berarah, pengertian banyak yang digunakan dalam tulisan ini adalah arti
banyak yang saling mengisi dengan arti kata baik dalam menunjukkan kinerja atau
performa.
Dalam buku harian (diary) almarhumah ibu kandung kami
sebagai siswi atau murid di Sekolah Guru Putri (SGP) yang kemudian berganti
nama menjadi SGB (Sekolah Guru bagian B) selalu ada yang khas. Buku yang
diterima oleh setiap siswi sebelum meninggalkan sekolah karena telah dinyatakan
lulus atau tamat. Bentuknya kecil, serupa buku saku, tapi isinya luar biasa. Di
halaman awal ada tulisan atau lebih tepatnya nasihat yang ditulis sangat rapi,
jelas dan indah. Pada buku ibu, tertulis kalimat singkat “pelan tapi pasti, bukan yang banyak itu
baik, tapi yang baik pastilah yang banyak”. Tulisan Ibu R.A. Sri Ormijatie,
adik kandung pahlawan nasional dr. Soetomo ini sangat membekas dan menjadi
pegangan erat dalam diri almarhumah Ibu Atiatoen.
Sepanjang ingatan, beberapa kali
usaha untuk menanyakan makna kalimat atau nasihat itu tak pernah berujung
jelas. Ibu selalu menjawab, coba renungkan dan cari tahu menurut imajinasi atau
nalarmu. Tentang anak kalimat pertama “ pelan tapi pasti” adalah ungkapan umum
yang sering terdengar dari beragam penuturan, cerita dan nasihat yang intinya
menjelaskan bahwa dalam melakukan perjalanan apapun di dunia ini, pastikan
arahnya jelas agar dapat mencapai tujuan hidup yang jelas pula. Nasihat yang
berarti sama dengan slow but sure atau alon-alon asal kelakon. Ada tiga
bahasa untuk kalimat yang sama. Semua menekankan makna kesabaran. Karena sabar
adalah modal utama meraih sukses, dunia dan akhirat.
Dari banyak cerita orang sukses,
semua memegang makna kesabaran. Ada yang mengartikan hal itu sebagai proses
panjang dan berliku. Tidak ada yang instan dalam menggapai sukses yang
sebenar-benarnya. Disipllin, kerja keras dan memelihara komitmen (janji awal)
dan masih banyak lagi makna kesabaran. Bagaimana kaitan dengan anak kalimat
“bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak?”
Di awal tulisan ini telah
diuraikan sedikit tentang makna anak kalimat tersebut yaitu mengenai kinerja
atau performa. Secara ringkas, kinerja sama dengan prestasi atau hasil kerja
yang diukur dengan satuan (berkaitan dengan makna banyak) dan mutu (tentang
yang baik). MSP Hasibuan (2001) mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil
kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta
waktu. Akuntansi menyebutnya
dengan istilah isi mengungguli bentuk untuk
penyajian laporan yang bermutu tinggi dengan predikat wajar
tanpa syarat atau pengecualian.
Begitu dalamnya makna kalimat di
atas sampai perlu perenungan yang sangat panjang. Lebih dari tiga puluh tahun sejak
mempertanyakannya, baru beberapa tahun belakangan ini tahu. Bahwa, seorang
Atiatoen yang “hanya” guru SD disegani banyak orang, terutama bekas murid dan
teman kerjanya. Ternyata, beliau memang bukan sekadar pengajar yang memindahkan
ilmu, atau pendidik yang mampu memberi motivasi, tapi juga sebagai jaminan
mutu. Meski demikian, beliau tidak pernah setuju dengan sebutan guru sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa yang sering menjadi
lagu wajib ketika nasibnya diombang-ambingkan oleh sikap sombong orang
kantoran di lingkungan dinas maupun kementerian pendidikan.
Sebagai anak seorang pemuka agama
di kampungnya, Atiatoen kecil lebih suka bergaul dengan tetangga yang tuna
netra dari pada bermain pasir di pinggir Sungai Luk Ulo bersama teman-teman
sebayanya. Hal ini menumbuhkan perilaku yang mudah tersentuh oleh ketimpangan sosial, ketidak-adilan dan
sejenisnya. Dibalik ketegasan sikapnya yang membuat banyak orang segan, hati
beliau sangat lembut. Hal inilah yang sering dimanfaatkan oleh sebagian orang
untuk berbuat lacur dan hianat kepada beliau. Keteguhan hati menempatan
kejujuran di atas segala perbuatannya sesekali memang membuat beliau dihadapkan
pada suasana dilematis yang kemudian disertai dengan kesediaan diri berkorban
bagi semua orang tanpa pandang bulu.
Satu dilema yang sampai sekarang
menjadi batu sandungan bagi keluarga, anak keturunan beliau, adalah komitmen
atas amanah menjaga “harta” almarhum embah Mochamad Djadjuli yang didului
dengan pemanggilan pulang Atiatoen ke kampung halaman dari tugas kedinasannya
sebagai guru di SD Latihan Rembang tahun 1953. Ketika itu, almarhumah tengah
menyiapkan diri untuk kembali ke Jogja melanjutkan studi sebagai “hadiah”
pemerintah bagi para anggota Tentara Pelajar yang aktif mengikuti proses
penegakan kemerdekaan bangsa Indonesia seperti yang lainnya. Bahkan, nasihat
kepala kantor pendidikan Provinsi Jawa Tengah agar Ibu Atiatoen berpikir ulang
atas kesediaannya menerima panggilan tugas kemanusiaan dari orangtua untuk
segera pulang kampung juga diabaikan. Termasuk menunda niat dan keinginan itu
ketika ditempatkan di SD Pangenrejo 1 Purworejo.
Keteguhan hati dan kesadaran
berbakti kepada orang tua satu-satunya setelah ibu kandung beliau wafat di
tahun 1939 mengalahkan semua kepentingan pribadinya. Kesempatan serupa juga
diabaikan saat sang suami yang dinikahi tahun 1955 tengah dipercaya oleh Duta
Besar Jerman Barat sebagai employee staff dan mengajaknya pindah ke Jakarta.
Satu-satunya jabatan tertinggi yang dipercayakan oleh perwakilan negara sahabat
itu bagi orang Indonesia. Itulah wujud pengorbanan kedua terbesar bagi sebuah
amanat orang tua yang hanya dipahami oleh 10 orang saudara sekandung,
tapi tak bagi sebagian anak keturunan mereka. Bahwa amanat adalah wasiat
keluarga, bukan keinginan pribadi seorang Atiatoen yang telah banyak berkorban
dalam memeliharanya.
Pelajaran besar yang saya petik
dari tulisan atau nasihat tetua di atas yang memang benar-benar bijak adalah
bahwa untuk melakukan kebaikan jangan
pernah berhitung tentang kebanyakan. Jika
kebanyakan berbuat tidak baik, coba dan terus upayakan dengan kebaikan. Ketika
yang baik itu menjadi banyak, maka itulah kinerja terbaik dalam kehidupan. Cobalah
hadirkan suasana selalu ada yang lebih
baik dalam hidupmu, niscaya adil dan sejahtera akan mengikutinya. Di Kampeong
Relawan, kebaikan itu ingin diwujudkan secara sungguh-sungguh. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar