Jumat, 11 Oktober 2013

Bukan MMS Lagi !

CSR dan Socialpreneurship

Oleh: Toto Karyanto
Kemajuan teknologi informasi telah memasuki ruang-ruang pribadi setelah munculnya telepon selular (ponsel) generasi akhir yang mampu memuat dan meneruskan pesan multi media yakni video, foto dam teks. Tanpa perlu menyebut merk dan jenis aplikasinya, hampir semua orang Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan kota-kota besar telah mengenalnya. MMS yang merupakan kependekakan dari Multimedia Messaging Service atau layanan pesan multimedia ini adalah sebuah terobosan teknologi yang membawa dampak sangat luas dalam kehidupan manusia. Jika pesan tersebut semula harus dilakukan dengan bantuan PC (Pesonal Computer) atau desktop dan sejenisnya, kini di segala tempat dan waktu kita dapat melakukan dengan cukup baik dari sebuah ponsel android

Sebelum munculnya teknologi MMS, telah ada layanan pesan singkat (short messaging service) atau lebih dikenal dengan kependekannya yakni sms. Dan ada kecenderungan dalam kehidupan masyarakat kita ketika berekspresi memakai gaya bahasa sarkasme untuk menyikapi berbagai hal yang dianggap menyimpang. Sebagian menyebut ekspresi itu sebagai sindiran tajam atau plesetan nylekit.SMS diartikan sebagai Suka Melihat (orang lain) Susah. tentu kita tidak akan membahas kecenderungan penyimpangan sosial (social disorder) ini. Setidaknya untuk kesempatan ini. 

Lalu apa yang dimaksud MMS ? Bukan tentang jenis layanan pesan atau sarkasme, tapi memang sebuah plesetan dari Meraih Manis Sendiri. Manis yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sukses atau keberhasilan. Pesan yang ingin disampaikan adalah berubungan dengan rencana atau tepatnya Program Kewirausahaan yang akan diberlakukan sebagai upaya menguatkan rencana SMA Masehi kebumen sebagai SMA Plus di tahun-tahun mendatang. 

Biasanya, masyarakat awam mengenal karakter wirausaha sukses adalah totalitas keberhasilan pribadi yang bersangkutan. Di masa lalu, pandangan tersebut memang menjadi kecenderungan umum, kalau tidak dapat disebut dogma. Bahwa seorang pelaku wirausaha adalah orang yang individualis atau egois. Seiring perkembangan waktu, akhir-akhir ini muncul kecenderungan yang kian menguat bahwa pelaku bisnis yang sukses jika ia atau mereka mampu membawa kesuksesan juga bagi lingkungannya. Bahkan ada kewajiban bagi perusahaan yang telah masuk bursa saham untuk mencantumkan Program Pertanggung-jawaban Sosial (Corporate Social Responsibility atau CSR agar tidak mendapat hukuman yang nilainya dapat mencapai jutaan dolar Amerika Serikat atau miliyaran rupiah. Program CSR boleh disebut sebagai prestige atau kebanggaan perusahaan yang berdampak meningkatkan peringkatnya di mata masyarakat bisnis internasional. 

Di sisi perusahaan-perusahaan pribadi, kecenderungan menggandeng masyarakat dalam menjalankan aktivitas bisnisnya juga kian meningkat. Inilah yang menjadi gagasan dasar munculnya gerakan internasional kewirausahaan sosial (social preneurship). Apalagi bagi Indonesia yang telah menyatakan diri merdeka agar meraih kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya. Baik CSR maupun social preneurship seharusnya menjadi kewajiban konstitusional yang tidak boleh diabaikan oleh para pelaku bisnis korporat maupun individu. Maraknya praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) acapkali menjadi kendala serius dalam mewujudkan kewajiban ini. 

Peristiwa tertangkap tangan Ketua Majelis Konstitusi (MK) oleh KPK karena kasus suap. kemudian memicu gagasan untuk percepatan berlakunya hukuman mati atas pelaku korupsi adalah sebuah momentum tepat untuk mengoreksi dengan benar dan baik program CSR dan menguatkan gerakan kewirausahaan sosial di Indonesia ke depan dalam mewujudkan kewajiban konstitusional di atas. Jadi bukan masanya MMS lagi kan?  

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.